Malam itu Dinta menyetir ke Bandara dengan perut besarnya. Menjemput suaminya setelah business trip di luar kota. Tak lama menunggu, suaminya terlihat di pintu keluar melambaikan tangan.
"Kangen" ucap Dinta sambil berpelukan. Suaminya membalas dengan senyuman dan pelukan yang hangat. Lalu mereka menuju tempat parkir untuk bergegas pulang.
"Aku aja yang nyetir, kamu kan lagi hamil," ucap Firas.
"Oke," jawab Dinta riang, "tadi aku pergi buat beli baju bayi sama Mama. Lucu-lucu deh. Aku mau beli semuanya saking gemesnya haha"
Firas terlihat mengangguk.
"Menurut kamu kita butuh beli tempat tidur buat bayi nggak?"
"Menurut kamu gimana?"
"Harganya agak mahal sih. Kan kita juga belum siapin trolley, dll. Kita pending aja dulu kali ya. Kalo emang butuh nanti, baru beli. Gimana?"
"Boleh." Entah kenapa Firas agak diam hari ini.
"Nanti kita juga ke sana ya. Aku mau ajak kamu liat-liat."
"Oke."
"Gimana trip-nya? Seru?"
"Iya."
Dinta menyalakan radio untuk mengusir keheningan perjalanan pulang tersebut. Firas tidak seperti biasanya. Mungkin Firas lelah, pikirnya.
"Din," Firas tiba-tiba memanggil.
"Ya?"
"Din, aku suka sama orang lain."
Sontak Dinta menoleh ke arah Firas yang masih fokus menghadap ke jalanan. Ia terkejut hingga tak sadar membuka mulutnya. Mendengar perkataan Firas tersebut Dinta merasa sesuatu menusuk dadanya. Membuat jantungnya berdetak lebih kencang. Dinta memindahkan pandangannya ke arah jalanan. Mencoba memproses apa yang baru dikatakan Firas.
"Kamu tau kan anak kita lahir bulan depan?" tanya Dinta dengan suara parau.
Firas masih terdiam dan memandang ke depan.
"Kenapa baru bilang sekarang?" tanya Dinta lagi.
"Aku baru sadar belum lama ini, Din."
Hanya ada alunan lagu dari radio yang menemani keheningan mereka. Sambil sesekali terdengar suara dengus nafas panjang dari Dinta. Dinta menengok ke arah kiri. Memandang ke arah luar jendela, mencoba menahan air mata yang terasa sudah menggenang di pelupuk mata. Mobil terus berjalan hingga pada akhirnya sampai di kediaman mereka. Dinta langsung bergegas masuk ke dalam kamar sebelum Firas memarkirkan mobilnya di dalam garasi. Beberapa menit kemudian Firas menyusul Dinta. Namun, sebelum ia masuk ke dalam kamar, tangisan Dinta terdengar di balik pintu. Firas tidak ingin mengganggunya. Ia memutuskan untuk tidur di kamar yang lain, kamar calon anaknya.
Firas terbangun keesokan paginya. Tanpa istrinya di sampingnya. Ia beranjak mandi dan bersiap-siap untuk pergi ke kantor. Tak ada jalan lain selain harus masuk ke dalam kamarnya untuk mengambil pakaian yang akan ia kenakan. Firas melihat Dinta masih terbaring di atas kasur dan masih terpejam. Biasanya Dinta sudah menyiapkan sarapan dan pakaian untuknya. Firas membuatkan bubur instan untuk istrinya yang ia letakkan di meja sebelah kasur. Ia memandang istrinya yang masih terpejam dengan perasaan yang entah kata apa yang bisa menjelaskan. Ia juga tak mau hal ini terjadi.
Pukul 10 pagi Dinta terbangun. Kemudian tersadar apa yang terjadi semalam. Ia mendengus panjang berusaha untuk bangun. Kepalanya terasa berat akibat menangis semalaman. Lalu ia tergopoh berjalan ke dapur untuk meminum susu hamil yang rutin ia konsumsi. Setidaknya bayinya harus baik-baik saja, ucapnya dalam hati. Dinta kembali termenung, teringat ucapan Firas tadi malam. Matanya kini kembali memanas, tapi ia mencoba untuk mengendalikan perasaannya. Ia kembali ke dalam kamar, menyadari ada semangkuk bubur di meja. Tak ada keinginan untuk menyantapnya. Dinta kembali menarik selimut dan melamun. Tak lama ponselnya berbunyi. Ternyata sudah ada banyak chat dari Firas menanyakan apakah ia sudah bangun dan sudah makan. Dinta mengabaikan pesannya. Kemudian ia terpejam kembali. Terlalu lelah untuknya.
"Din,"
Terdengar suara memanggilnya hingga Dinta terbangun.
"Kamu belum makan juga?" ucap Firas yang kini sudah di depan mata Dinta. Dinta melihat jam dinding menunjukkan pukul 12 siang lebih 13 menit.
"Aku khawatir sama kamu makanya aku pulang cepet. Ini aku bawain sup. Dimakan ya, kamu kan nggak sendirian."
Firas lalu mengambilkan mangkuk dan sendok untuk istrinya. Menyiapkan sup untuk disantap Dinta.
"Mau aku suapin atau mau makan sendiri? tanya Firas.
"Sendiri aja." Dinta menjawab singkat.
"Aku di depan ya, mau lanjut kerja. Kalau kamu butuh apa-apa bilang aja." Firas memberi tahu lalu keluar dari kamar.
Dinta menyantap sup dengan tidak antusias. Kalau bukan karena bayi di dalam perutnya, mungkin ia lebih memilih untuk tidak makan.
Malamnya Firas tidur di sofa ruang tengah setelah makan malam yang dia pesan dari makanan pesan antar untuknya dan Dinta. Ia masih segan untuk kembali tidur di kamarnya lagi. Mungkin Dinta belum bisa menerima kehadirannya, pikirnya. Keesokan harinya Firas tetap berangkat bekerja. Tanpa ada istrinya yang menyiapkan sarapan dan pakaian untuknya di pagi hari. Lalu pulang setengah hari untuk melanjutkan bekerja di rumahnya. Memastikan ia menyediakan makanan untuk Dinta walaupun makanan yang ia berikan tak pernah habis. Beberapa hari berjalan seperti itu. Dinta tetap tak pernah menyiapkan apa pun untuk suaminya. Sampai akhirnya Firas memberanikan diri untuk tidur di kamar bersama Dinta. Dinta menghadap ke arah kiri. Mencoba memejamkan matanya dan mengabaikan Firas yang tidur di sampingnya. Tak lama kemudian ia merasakan tangan Firas memeluknya sambil mengusap-usap perutnya.
"Papa udah lama ya nggak ngobrol sama kamu, Nak." Firas bersuara. Sementara Dinta hanya terdiam.
"Kamu udah tidur belum, Nak? Papa nggak sabar ketemu kamu. Kamu lahir yang lancar ya, biar Mama nggak sakit terlalu lama," Firas melanjutkan tanpa ada jawaban dari ucapannya. Dinta tetap terdiam. Firas masih memeluknya dari belakang. Hanya ada keheningan beberapa saat sebelum Firas melanjutkan ucapannya.
"Din, maafin aku ya. Maafin ucapanku beberapa waktu kemarin. Aku tau kamu pasti kecewa, sedih, dan marah sama aku. Maafin aku, Din. Aku benar-benar nggak bermaksud untuk nyakitin kamu.
Din, perempuan itu teman kantorku. Aku merasa ada ketertarikan sama dia. Mungkin karena sering ketemu dan kerja bareng. Tapi aku belum pernah bertindak apa-apa, Din. Nggak ada interaksi berlebih kecuali soal kerjaan. Maka dari itu aku minta bantuan kamu ya, Din. Bantu aku buat menghapus rasa ketertarikan aku sama dia. Bantu aku untuk menumbuhkan percikan-percikan itu sama kamu lagi. Aku pengen sama sama kamu lagi, Din. Aku kangen sama kamu."
Dinta tetap terdiam. Hanya terdengar isakannya yang tertahan.
Keesokan harinya Firas terbangun tanpa istrinya. Sambil mengumpulkan nyawa ia menengok ke segala arah mencari-cari Dinta. Ia ke kamar mandi melihat apakah Dinta di sana, tetapi kosong juga. Ia mulai panik. Mengecek semua sudut rumah. Jantungnya berdebar tak menemukan Dinta di mana pun. Hal yang ia takutkan terjadi, pikirnya. Matanya mulai memanas. Lalu ia mencari ponselnya dan mencoba menghubungi Dinta. Tiba-tiba suara pintu depan terdengar terbuka. Firas bergegas ke depan, lalu ia melihat Dinta membawa belanjaan sayur-mayur. Dinta tersenyum begitu melihat Firas. Sudah lama rasanya Firas tak melihat senyuman itu. Ia pun langsung memeluk Dinta dengan erat. Reflek barang-barang belanjaan Dinta terjatuh dari tangannya.
"Hari ini aku masakin makanan favorit kamu ya," ucap Dinta membalas pelukannya. Firas kemudian memeluknya semakin erat.