Courtesy: jogjangangeni.com |
Nggak pernah
terpikirkan untuk saya bisa tinggal di Kota Pelajar ini. Karena dulu emang
nggak begitu berambisi buat milih satu kota tertentu untuk ditinggali selama
kuliah. Dan karena 'kebetulan' universitas idaman saya nggak berada di Jogja,
jadi aja saya nggak naksir-naksir amat dengan kota sejuta Gudeg ini. Long story short, saya random aja gitu memilih UNY sebagai pilihan kedua saya dalam
SNMPTN. Dan yup! Pilihan pertama saya menolak saya hingga saya bisa berada di
sini. It's almost been 4 years!!
Kesan pertama ketika menginjakkan kaki di Jogja setelah bertahun-tahun nggak ke sini adalah medhok. Dulu saya selalu menganggap bahasa Cirebon adalah bahasa Jawa. Orang-orang Cirebon pun akan prefer menyebut bahasa Jawa untuk merujuk ke bahasa Cirebon. Padahal ketika pertama saya dengar orang-orang ngobrol pakai bahasa Jawa, saya benar-benar roaming dan in complete confusion. Dan lebih bingung lagi, ketika saya kenalan sama orang, dia mengira kalau Cirebon itu ngapak. I was like, "What?!" Ngapak itu apa aja saya nggak tau. Hufff. Tapi kemudian, saya benar-benar salut sama penduduk lokal karena mereka sangat mempertahankan bahasa ibu mereka. Dari anak kecil, anak muda, ibu-ibu, bapak-bapak, sampai embah-embah dan dari tukang becak, pelajar, mahasiswa, sampai pengusaha dan pejabat, mereka semua nggak ragu untuk berkomunikasi dengan bahasa Jawa di mana pun mereka berada. Bahkan teman kuliah saya pernah mengatakan kalau dia bangga menjadi orang Jawa dan berbahasa Jawa. And I super really totally apreciate that. Karena entah kenapa di Cirebon, para anak muda dan agabon-ers (anak gaul Cirebon) akan merasa malu untuk berbahasa Cirebon. It's really sad, right? And I'm like, "If you think that using Cirebonese is hick, you'd better go to Jawa or probably Bandung to see how proud the local people are using their own mother tounge. And if you still think it's hick, you should go and f**k yourself. Seriously!" Haha.
Selain kental dengan bahasa Jawanya. Jogja pun terkenal dengan keramah-tamahannya. Dulu saya sempat kaget begitu saya beli sesuatu dan penjualnya bilang, "Bawa aja dulu, Mba, nggak ada kembaliannya. Mbanya ninggal di sini." What?! Saya itu orang asing lho, kok ya bisa langsung percaya gitu aja. Kalau saya lupa atau bahkan nggak mau bayar sekalian gimana? Rasa-rasanya kalau di Cirebon, si penjual akan mencarikan kembalian sekalipun harus menukar ke mana dulu, ya kecuali kalau sama orang yang udah dikenal.
Sejauh saya punya teman-teman yang orang Jogja, mereka lebih nggak konsumtif, sederhana, dan bersahaja eaak. Dari cara berpakaian sampai gaya hidup, mereka nggak terlalu ngoyo untuk mengikuti tren yang lagi hits. Ya walaupun tetep aja ada yang mencoba hits, tapi kalau dari yang saya liat, kebanyakan mereka nggak terlalu konsumtif sama kemodernan. Ini bisa jadi rem banget buat saya yang bergaul juga sama orang-orang Jawa Barat yang cenderung sangat mengikuti tren dan lebih konsumtif. Hmm.
Hal penting lainnya adalah makanan khas. Udah pasti dong ya semua orang tau kalau Jogja terkenal dengan Gudegnya. Tapi sampai saat ini, saya nggak doyan sama Gudeg. Bahkan Gudeg adalah salah satu makanan yang saya hindari. Saya keburu nolak duluan kalau diajak makan Gudeg. Haha. Sebenernya, saya pernah nyoba sih beli Gudeg, dan lumayan. Lumayan nggak doyan maksudnya haha nggak deng. Tapi saya keburu parno duluan sama tingkat kemanisan lauk yang dicampur nasi. Karena di sini, masak sayur dan lauk itu wajib hukumnya pakai gula dengan takaran yang menurut saya banyak. Waktu itu saya pernah main ke rumah seorang teman di Bantul yang kemudian saya disuguhi sop. Saya langsung aja tuh kan ngasih air sop banyak ke mangkuk nasi saya, eh begitu saya makan, gila manis banget! Itu sop udah kaya kuah es campur aja deh. Sampai akhirnya saya jadi nggak nafsu buat ngehabisin padahal lagi laper haha. Tapi btw, saya prefer banget ke Angkringan. Nggak ke Jogja kalo nggak ke Angkringan. Suasana lesehan di pinggir jalan malem-malemnya itu loh yang kerasa njogja banget. Murah meriah lagi. Uuuw.
Menurut saya, Jogja itu paket komplit. Saya bisa sok-sokan hedon nongkrong di Mall dan bisa juga sok-sokan jadi anak bolang yang menjelajah tempat-tempat alam yang nggak ada habisnya. Dari pantai pasir hitam, pasir putih, air terjun, gumuk pasir yang katanya cuma ada di dua tempat di dunia (?), goa, gunung, sawah, hutan, you name it lah, ibaratnya, apa sih yang nggak ada? Yang nggak ada, aku di hatimu sih. Pergi ke tempat-tempat itu bisa jadi penyegaran buat otak banget di sela-sela pusingnya kuliah dan ruwetnya berurusan sama tanggungan yang kadang bikin super gemaz pengen makan tahu bulat (?). Dan yang paling penting, masih tetap ekonomis buat kantong mahasiswa haha. Paling untuk uang bensin dan uang tiket masuk yang masih masuk akal. Tapi btw, pertumbuhan mall di Jogja cukup pesat juga. Dulu awal ke sini, saya nggak menemukan banyak mall. Malahan, Cirebon lebih punya banyak mall daripada Jogja. Tapi sekarang, mall udah kaya jamur di musim hujan. Langsung banyak bermunculan aja gitu. Tempat-tempat gaul dan hits pun mulai amat banyak bermunculan. Tapi eksistensi Burjo masih pada level tertinggi kok buat mahasiswa dan anak kos. Jadi ya tinggal pilih, mau nongkrong-nongkrong unyu di tempat hits, hedon di mall, sok-sokan jadi anak my trip my adventure, atau nongkrong merakyat di Burjo haha.
Dan terakhir, yang paling iconic banget dari Jogja adalah Malioboro. Ya siapa sih yang ke Jogja tapi nggak ada itinerary untuk datang ke Malioboro? Dulu, jaman SD pas baru pertama kali mau ke Malioboro, saya pikir Malioboro itu tempat apa, eh ternyata cuma tempat belanja doang wkwk. Tapi, setelah udah lama di sini, baru kerasa tuh kalau suasana jalanan Malioboro nggak ada duanya. Bau khas dari delman, suara angklung Banyumas-an, dan keramaian para turis domestik dan mancanegara udah jadi khas Malioboro banget. Dan saya nggak menemukan tempat sesyahdu Malioboro yang bikin saya seketika jadi recall all memories yang saya lalui di Jogja eaak.
Saya rasa, Jogja nggak akan mungkin menyandang titel 'Kota Pelajar' kalau kotanya nggak ramah buat para pendatang khususnya pelajar dan mahasiswa. Sampai saat ini, ada banyak universitas dan para pendatang dari berbagai kota di seluruh Indonesia bahkan luar negeri. Yang mana itu menunjukkan kalau Jogja emang kota yang worth living. Makanya saya nggak ngerti ketika kemarin sempat heboh berita tentang mahasiswa S2 UGM yang menjelek-jelekkan warga Jogja di POM bensin itu. Selama isu itu berlangsung, banyak mahasiswa, dan bahkan hampir semua, kontra dengan Mba berinisial F itu. Jadi mungkin, Mbanya aja kali yang musti berkaca diri wkwk no offense sih.
Walaupun Jogja bukan kota yang saya idamkan dari awal, I ended up feeling so grateful to get the chance living here! Jogja udah jadi kota yang sangat nyaman untuk ditinggali sekaligus jadi gerbang awal saya buat mendapat pengalaman yang udah nggak keitung jumlahnya. Saya bisa jamin sih, nggak akan ada orang yang pernah tinggal di Jogja yang nggak mau balik lagi ke Jogja.
Kesan pertama ketika menginjakkan kaki di Jogja setelah bertahun-tahun nggak ke sini adalah medhok. Dulu saya selalu menganggap bahasa Cirebon adalah bahasa Jawa. Orang-orang Cirebon pun akan prefer menyebut bahasa Jawa untuk merujuk ke bahasa Cirebon. Padahal ketika pertama saya dengar orang-orang ngobrol pakai bahasa Jawa, saya benar-benar roaming dan in complete confusion. Dan lebih bingung lagi, ketika saya kenalan sama orang, dia mengira kalau Cirebon itu ngapak. I was like, "What?!" Ngapak itu apa aja saya nggak tau. Hufff. Tapi kemudian, saya benar-benar salut sama penduduk lokal karena mereka sangat mempertahankan bahasa ibu mereka. Dari anak kecil, anak muda, ibu-ibu, bapak-bapak, sampai embah-embah dan dari tukang becak, pelajar, mahasiswa, sampai pengusaha dan pejabat, mereka semua nggak ragu untuk berkomunikasi dengan bahasa Jawa di mana pun mereka berada. Bahkan teman kuliah saya pernah mengatakan kalau dia bangga menjadi orang Jawa dan berbahasa Jawa. And I super really totally apreciate that. Karena entah kenapa di Cirebon, para anak muda dan agabon-ers (anak gaul Cirebon) akan merasa malu untuk berbahasa Cirebon. It's really sad, right? And I'm like, "If you think that using Cirebonese is hick, you'd better go to Jawa or probably Bandung to see how proud the local people are using their own mother tounge. And if you still think it's hick, you should go and f**k yourself. Seriously!" Haha.
Selain kental dengan bahasa Jawanya. Jogja pun terkenal dengan keramah-tamahannya. Dulu saya sempat kaget begitu saya beli sesuatu dan penjualnya bilang, "Bawa aja dulu, Mba, nggak ada kembaliannya. Mbanya ninggal di sini." What?! Saya itu orang asing lho, kok ya bisa langsung percaya gitu aja. Kalau saya lupa atau bahkan nggak mau bayar sekalian gimana? Rasa-rasanya kalau di Cirebon, si penjual akan mencarikan kembalian sekalipun harus menukar ke mana dulu, ya kecuali kalau sama orang yang udah dikenal.
Sejauh saya punya teman-teman yang orang Jogja, mereka lebih nggak konsumtif, sederhana, dan bersahaja eaak. Dari cara berpakaian sampai gaya hidup, mereka nggak terlalu ngoyo untuk mengikuti tren yang lagi hits. Ya walaupun tetep aja ada yang mencoba hits, tapi kalau dari yang saya liat, kebanyakan mereka nggak terlalu konsumtif sama kemodernan. Ini bisa jadi rem banget buat saya yang bergaul juga sama orang-orang Jawa Barat yang cenderung sangat mengikuti tren dan lebih konsumtif. Hmm.
Hal penting lainnya adalah makanan khas. Udah pasti dong ya semua orang tau kalau Jogja terkenal dengan Gudegnya. Tapi sampai saat ini, saya nggak doyan sama Gudeg. Bahkan Gudeg adalah salah satu makanan yang saya hindari. Saya keburu nolak duluan kalau diajak makan Gudeg. Haha. Sebenernya, saya pernah nyoba sih beli Gudeg, dan lumayan. Lumayan nggak doyan maksudnya haha nggak deng. Tapi saya keburu parno duluan sama tingkat kemanisan lauk yang dicampur nasi. Karena di sini, masak sayur dan lauk itu wajib hukumnya pakai gula dengan takaran yang menurut saya banyak. Waktu itu saya pernah main ke rumah seorang teman di Bantul yang kemudian saya disuguhi sop. Saya langsung aja tuh kan ngasih air sop banyak ke mangkuk nasi saya, eh begitu saya makan, gila manis banget! Itu sop udah kaya kuah es campur aja deh. Sampai akhirnya saya jadi nggak nafsu buat ngehabisin padahal lagi laper haha. Tapi btw, saya prefer banget ke Angkringan. Nggak ke Jogja kalo nggak ke Angkringan. Suasana lesehan di pinggir jalan malem-malemnya itu loh yang kerasa njogja banget. Murah meriah lagi. Uuuw.
Menurut saya, Jogja itu paket komplit. Saya bisa sok-sokan hedon nongkrong di Mall dan bisa juga sok-sokan jadi anak bolang yang menjelajah tempat-tempat alam yang nggak ada habisnya. Dari pantai pasir hitam, pasir putih, air terjun, gumuk pasir yang katanya cuma ada di dua tempat di dunia (?), goa, gunung, sawah, hutan, you name it lah, ibaratnya, apa sih yang nggak ada? Yang nggak ada, aku di hatimu sih. Pergi ke tempat-tempat itu bisa jadi penyegaran buat otak banget di sela-sela pusingnya kuliah dan ruwetnya berurusan sama tanggungan yang kadang bikin super gemaz pengen makan tahu bulat (?). Dan yang paling penting, masih tetap ekonomis buat kantong mahasiswa haha. Paling untuk uang bensin dan uang tiket masuk yang masih masuk akal. Tapi btw, pertumbuhan mall di Jogja cukup pesat juga. Dulu awal ke sini, saya nggak menemukan banyak mall. Malahan, Cirebon lebih punya banyak mall daripada Jogja. Tapi sekarang, mall udah kaya jamur di musim hujan. Langsung banyak bermunculan aja gitu. Tempat-tempat gaul dan hits pun mulai amat banyak bermunculan. Tapi eksistensi Burjo masih pada level tertinggi kok buat mahasiswa dan anak kos. Jadi ya tinggal pilih, mau nongkrong-nongkrong unyu di tempat hits, hedon di mall, sok-sokan jadi anak my trip my adventure, atau nongkrong merakyat di Burjo haha.
Dan terakhir, yang paling iconic banget dari Jogja adalah Malioboro. Ya siapa sih yang ke Jogja tapi nggak ada itinerary untuk datang ke Malioboro? Dulu, jaman SD pas baru pertama kali mau ke Malioboro, saya pikir Malioboro itu tempat apa, eh ternyata cuma tempat belanja doang wkwk. Tapi, setelah udah lama di sini, baru kerasa tuh kalau suasana jalanan Malioboro nggak ada duanya. Bau khas dari delman, suara angklung Banyumas-an, dan keramaian para turis domestik dan mancanegara udah jadi khas Malioboro banget. Dan saya nggak menemukan tempat sesyahdu Malioboro yang bikin saya seketika jadi recall all memories yang saya lalui di Jogja eaak.
Saya rasa, Jogja nggak akan mungkin menyandang titel 'Kota Pelajar' kalau kotanya nggak ramah buat para pendatang khususnya pelajar dan mahasiswa. Sampai saat ini, ada banyak universitas dan para pendatang dari berbagai kota di seluruh Indonesia bahkan luar negeri. Yang mana itu menunjukkan kalau Jogja emang kota yang worth living. Makanya saya nggak ngerti ketika kemarin sempat heboh berita tentang mahasiswa S2 UGM yang menjelek-jelekkan warga Jogja di POM bensin itu. Selama isu itu berlangsung, banyak mahasiswa, dan bahkan hampir semua, kontra dengan Mba berinisial F itu. Jadi mungkin, Mbanya aja kali yang musti berkaca diri wkwk no offense sih.
Walaupun Jogja bukan kota yang saya idamkan dari awal, I ended up feeling so grateful to get the chance living here! Jogja udah jadi kota yang sangat nyaman untuk ditinggali sekaligus jadi gerbang awal saya buat mendapat pengalaman yang udah nggak keitung jumlahnya. Saya bisa jamin sih, nggak akan ada orang yang pernah tinggal di Jogja yang nggak mau balik lagi ke Jogja.