Seiring dengan tayangnya kembali sinetron Pernikahan Dini,
entah kenapa bisa kebetulan juga lagi
in mengenai pernikahan Alvin, anaknya
Ustadz Arifin Ilham, yang mana dia masih di bawah umur menurut Undang-undang.
Berita ini cukup menuai pro dan kontra. Apa penyebabnya? Tidak lain tidak bukan
karena umur itu sendiri sih. Saya sendiri berpendapat kalau tidak ada yang
salah dari menikah muda. Setiap orang
berhak untuk memutuskan kapan dan di umur berapa mereka menikah. Namun, menurut
saya, menikah bukanlah suatu hal yang bisa tidak kita pikirkan matang-matang
karena ada banyak konsekuensi yang akan diambil ketika kita sudah tidak hidup
‘seorang diri’.
Saya memang tidak mengikuti berita pernikahan Alvin ini dari
awal. Kebetulan pas saya nonton Alvin diwawancara, dia mengatakan sangat
menyayangkan seks bebas yang terjadi di kalangan remaja. Daripada zinah,
mending langsung nikah saja bisa jadi ibadah. Ya, saya memang dengar alasannya
setengah-setengah gitu sih. Jadi kalau ada kesalahan dari opini saya, ya itu
datangnya dari saya pribadi bukan siapa-siapa.
Pokok ‘permasalahan’ dari pernikahan dini adalah umur. Mungkin
kalau pernikahan kakaknya dini mah boleh kali ya karena lebih tua dari dini
huhu jayus. Menurut undang-undang, laki-laki boleh menikah ketika sudah berumur
19 tahun dan perempuan 16 tahun. CMIIW.
Pada umumnya, seseorang akan lulus SMA pada umur 17 tahun, maka di umur 19
tahun diharapkan seseorang setidaknya mempunyai penghasilan jika ia memutuskan
untuk tidak melanjutkan studi. Saya rasa, undang-undang menetapkan umur untuk
pernikahan bukanlah tanpa pertimbangan. Itu pun semata-mata sebagai upaya
‘mensejahterakan’ penduduknya. Diputuskannya umur tertentu adalah mungkin salah
satu upaya pemerintah untuk memastikan bahwa penduduknya sudah cukup siap
finansial untuk melakukan pernikahan.
Yup, hal pokok selanjutnya adalah finansial. Seseorang yang
sudah menikah, rasa-rasanya janggal jika masih bertumpu pada orang tuanya. Suka
atau tidak, menikah itu butuh uang. Untuk menghidupi kita sendiri, pasangan,
dan anak-anak kelak. Baik untuk memenuhi kebutuhan pokok seperti makan, tempat
tinggal, dan pakaian maupun kebutuhan sekunder seperti pendidikan, hiburan, dan
lain sebagainya. Se-belia apa pun umur kita, mau tidak mau kita harus siap
untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan tersebut.
Selain itu, di umur yang masih belia, sudahkah cukup siap
untuk selanjutnya menghadapi persoalan-persoalan hidup yang bukan lagi hanya mengenai
kepentingan pribadi? Saya sangat setuju dengan pernyataan “Kedewasaan tidak
bisa ditentukan dari umur”, tapi juga sepanjang saya hidup 22 tahun di dunia ini,
saya menemukan bahwa umur juga tidak bisa dibohongi. Saya punya teman sebaya,
tapi dia bisa sangat bijak dan dewasa lebih dari saya. Namun, umur tetaplah
berbicara. Ada kalanya ia terlihat manja dan masih ‘kanak-kanak’. Dan sekanak-kanaknya
seseorang, kalau dia sudah cukup berumur, dia akan ada kalanya bertindak
dewasa. I hope you get my point.
Lagi-lagi menurut saya, menikah bukanlah hal tanpa
konsekuensi. Kita tak lagi bisa memikirkan diri kita sendiri, ada pasangan yang
juga harus kita pikirkan. Mau tidak mau, kita pun akan sedikit banyak berkorban
atas apa yang akan kita putuskan. Yang mana, sadar atau tidak, kita akan
sedikit banyak mengorbankan satu dan lain hal. Sekolah misalnya. Memang, kita
masih bisa tetap bisa mengambil S1, S2, dan seterusnya, tapi tentu saja
pasangan dan anak adalah sudah menjadi prioritas utama kita. Menikah juga bukan
hanya urusan individu yang ingin menikah. Ada keluarga dari masing-masing pihak
yang perlu kita hadapi yang mana kadang itu juga tidak sesederhana yang kita
pikirkan.
Tidak ada yang salah dari menikah muda jika sudah siap
dengan segala konsekuensinya. Tapi saya pun cukup menyayangkan kalau alasan
menikah hanyalah untuk mencegah zinah. Menurut saya yang ilmu agamanya tidak
lebih besar dari ukuran semut, rasa-rasanya masih banyak ibadah yang bisa
mencegah dari perbuatan zinah. Contoh yang paling esensial adalah sholat. Kalau
kita memahami seluruh isi bacaan sholat bukan hanya sekedar untuk menggugurkan
kewajiban, saya rasa, kita akan merasa menjadi sebenar-benarnya budak Allah dan
mengabdi seluruh jiwa raga kita kepada Allah yang mana jelas, kita akan
berusaha melakukan segala perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya termasuk
zinah. Hal selanjutnya yang bisa kita lakukan adalah dzikir. Dengan dzikir,
kita jadi mengingat Allah. Jika Allah sudah memenuhi hati dan pikiran kita,
kita akan selalu merasa Allah melihat kita kapan dan di mana pun ya masa mau
zinah kan? Atau, kita bisa melakukan ibadah lain yang memang tujuannya untuk
mengendalikan nafsu kita: puasa. Jangankan untuk memenuhi nafsu birahi, buat
makan minum aja nggak boleh kan kalau kita lagi puasa? Dan yang terakhir, yang
paling ‘ngena’ menurut saya: ingat mati. Udahlah, kalau ingat mati mah mau kita
lagi jungkir balik ngakak kaya apa pun juga langsung bisa kicep. Kalau kita
ingat mati, boro-boro mikirin gegalauan apalagi zinah nggak sih? Yang ada kita
langsung merinding dan bawaannya pengen taubat aja berharap jiwa kita bersih
dari segala dosa yang padahal kalau denger adzan aja masih mager buat cepet-cepet
sholat huhu. Intinya, banyak ibadah lain yang bisa kita lakukan kalau hanya
untuk mencegah zinah. Ingat loh ya, ‘kalau hanya’. Tapi jika ternyata keinginan
menikah lebih dari itu, ya silakan boleh banget banget. Apalagi jika semua
rukun nikah sudah terpenuhi, punya penghasilan cukup, dan siap akan segala
konsekuensi minimal yang saya sebutkan di atas, mau berapa pun umurnya, ya
sah-sah saja. Dan mungkin itu lah yang terjadi pada Alvin. Dia sudah sesiap
itu. Saya juga aslinya pengen nikah muda kok, cuman kan ada beberapa rukun
nikah yang harus terpenuhi. Yang pertama, mempelai wanita. Yang kedua, mempelai
pria. Nah, baru syarat kedua aja saya masih belum mampu, jadi yaudah, gagal mau
nikah muda hahahaha cry. Gak ding,
canda.
Di benak saya, menikah adalah ibadah yang bukan hanya untuk
mencegah zinah. Butuh kesiapan lahir dan batin untuk mengarungi tingkat
kehidupan yang lebih ‘dewasa’ ini. Namun, saya bukanlah ukhti-ukhti sholehah yang ilmu
agamanya udah tinggi. Bahkan kalau dosa bisa kecium, mungkin dosa saya udah kecium
sekali pun kamu lagi di Afrika karena saking banyaknya dosa saya huhu. Opini
ini datangnya dari manusia biasa yang masih haus akan ilmu fiqih dan pemahaman
aqidah. Kalau pun tidak sesuai, ya mohon dimaklumi dan diingatkan. Lagian, ini
mah cuma pencitraan aja ding.