Saya jadi teringat,
tahun lalu saya juga menulis tentang awal tahun ke-23 saya di sini. Waktu itu
saya bilang saya nggak lagi hype ulang
tahun, karena ya buat apa. Toh kita semakin dekat pada kematian. Tapi anyway, nggak lama ini saya baca blog-nya Kak
Tirta alias @romeogadungan tentang postingan tahunannya mengenai usianya yang
menginjak tahun ke-30. Isinya berupa kilas balik dan refleksi diri. Terus saya
mikir, wah seru juga tuh. Saya bisa nostalgia dan teringat apa dan bagaimana
perjalanan saya dari tahun ke tahun, seenggaknya buat saya baca dan kenang
sendiri suatu saat nanti. Dan ya, yang saya bilang saya nggak mau terlalu hype ultah malah sekarang jadi ajang buat
refleksi tahunan. Namanya juga Ellis, aneh malah kalau nggak labil. Eh tapi kan
ini nggak hype, hanya refleksi aja *debating myself*.
Nggak banyak yang
terjadi di tahun ke-23. Tapi, saya akhirnya meraih bachelor degree saya. Dulu saya berpikir, lulus/wisuda itu hal
yang biasa aja. Karena toh banyak sekali orang yang mencapai hal yang sama.
Sampai saya menemukan di sekitar saya, ternyata nggak semua orang punya
kesempatan untuk meraih level ini. Ternyata juga ada orang-orang yang merasa
seberuntung dan sebersyukur itu bisa meraih bachelor
degree, entah karena faktor perjuangan secara materi maupun secara background pendidikan keluarganya. Saya? Saya
tetap merasa nggak se-spesial itu sih sudah wisuda. Tapi, karena perjalanan
menempuh wisuda ini benar-benar menguras jiwa, raga, air mata, dan dana haha
akhirnya ketika saya sudah sidang, ternyata rasanya selega itu. Benar-benar
lega.
Masa-masa skripsi
ini super campur aduk. Se-campur aduk saat ketemu orang yang belum mampu
kita lupakan sedang berjalan berdua dengan yang lain *apasih* *caper 1*. Saya
nggak pernah mengira kalau saya akan menyelesaikan skripsi selama ini. Karena
ya pada dasarnya saya bukan tipikal mahasiswa rebel
yang, walaupun saya merasa agak salah jurusan, suka cabut dari kelas atau
mangkir dari tugas. Mungkin bisa dihitung dengan jari berapa kali saya bolos
kuliah. Jadi saya pikir, walaupun skripsi nggak akan mudah, seenggaknya saya
bisa mengerjakannya sesuai rencana saya. Tapi ternyata, semua rencana menguap
gitu aja. Dari awal saya dapet dosen pembimbing, jalannya udah di luar dugaan.
Beberapa bulan pertama, saya masih woles.
Tapi lama-lama, kok teman-teman seangkatan saya udah pada lulus ya. Saya mulai
cemas, tertekan, dan hilang nafsu makan sehilang-hilangnya. Sampai puncaknya,
setiap saya bangun pagi, bukan doa bangun tidur yang saya lakukan, bukan juga
buka HP. Tapi, saya langsung menangis tanpa alasan. Saya juga nggak mengerti
apa yang terjadi sama saya. Di satu
sisi, saya tau skripsi ini bukan apa-apa dibanding permasalahan hidup yang
lain. Tapi di sisi lain, dude, it's so much
consuming. Saya bukan tipe orang yang mudah nangis anyway. Jadi kalau sampai saya nangis gitu
aja, mungkin itu berarti saya benar-benar lelah dan nggak tau harus gimana
lagi.
Pada akhirnya, saya
menyadari, walaupun ini semua di luar kendali saya, nggak ada sesuatu atau
seseorang yang bisa disalahkan. Bukan juga dosen saya, kampus saya, jurusan
saya, atau saya sendiri. Setiap planet berputar pada porosnya masing-masing dan
setiap planet itu juga menjalani fungsinya masing-masing. Begitu pun dengan
manusia. Kita berjalan di jalan kita masing-masing dengan tujuan dan maksud
masing-masing pula.
Btw, seperti kata pepatah, tak kenal maka tak
sayang. Tapi pepatah itu nggak akan nyambung sama apa yang mau saya tulis kok.
Cuman mau memulai paragraf dengan kalimat itu aja. Karena walaupun udah kenal,
udah sayang tapi kalau nggak berbalas ya buat apa juga *apasih* *caper 2*.
Di tahun ke-23,
lagi-lagi saya menyadari betapa semua orang bisa berubah. Pun saya, kamu, dia,
atau mereka. Dan perubahan itu bisa dalam bentuk apa pun. Bisa status, sifat,
sudut pandang, maupun rasa. Orang yang
berasa masih kemarin saling bertukar kabar dan cerita, jadi tempat berkeluh
kesah, tau satu sama lain hari ini ngapain aja, bisa begitu drastis menjadi
asing hari ini. Jangankan bertukar kabar, saling sapa aja enggak. Semuanya
seperti kembali seperti semula: asing. Bedanya dengan orang yang benar-benar
asing adalah kita pernah punya memori bersama. Dan sialnya, otak kita nggak
diciptakan sama seperti memori di laptop yang bisa kita pilih untuk
menghapusnya ketika kita nggak pengen memori itu tersimpan lagi. *Wagelaseh bahasa w dah kek anak galaw Tumblr belum?
Hahaha*. Lucunya, ini bukanlah pertama kali yang saya rasakan. Dulu
pernah juga beberapa kali merasakan hal yang sama. Tapi kok ya rasanya tetap
sama: aneh. Aneh menjadi
asing-bersama-dan kemudian asing lagi. Mungkin benar apa yang Gilang KR tulis,
"Sayangnya, tidak peduli lima, atau
sepuluh, atau bahkan dua puluh kali kita mengalaminya, tidak lantas membuat
kita menjadi terlatih patah hati."
Di sisi lain, saya
juga menyadari, orang yang dulu nggak pernah saya pedulikan keberadaannya
padahal dia ada di sekitar saya, bisa begitu menakjubkan untuk dikenal. Orang
yang selama ini saya kira "nggak baik" karena saya mendengar dari
orang-orang, ternyata bisa jadi teman sebaik itu. Bahkan lebih baik dari yang
saya bayangkan. Dia bisa jadi orang yang bisa saya andalkan dan saya percaya.
Semua ucapan orang dulu yang pernah saya dengar tentang dia menguap gitu aja
ketika saya mulai mengenal dia secara langsung. Dari sini saya jadi tau, kita
nggak pernah bisa benar-benar menilai orang kecuali kita mau mengenal dan
memahaminya lebih dalam. Dan nggak peduli sebaik apa pun kita, penilaian orang
di luar bisa jadi sejahat itu.
Lain halnya mengenai
sudut pandang hidup. Mungkin karena skripsi saya kemarin nggak berjalan sesuai
rencana dan itu sangat amat melelahkan. Saya jadi memandang berbeda sekarang.
Saya udah nggak punya "papan rencana" tentang apa-apa yang mau saya
lakukan. Saya jadi cenderung untuk menjalani apa yang sekarang ada di depan
mata dengan sebaik-baiknya. Dan ternyata, hidup seperti ini nggak se-"buruk" yang
dibayangkan. Saya justru menemukan hal-hal yang di luar dugaan in a good way. So
now I tend to let life surpise me. Hopefully
I'm ready, or at least strong enough, to face it.
Ada beberapa hal
lain yang saya alami di usia ke-23 saya. Tapi sepertinya, postingan yang
awalnya diniatkan sebagai refleksi dan malah berujung curhat dan caper ini ternyata udah terlalu panjang. Jadi daripada
saya semakin keliatan alay-nya dan menjatuhkan pencitraan saya, ada baiknya
mungkin saya menyudahi saja. Walau saya nggak sedang mempunyai a board vision untuk menjalani tahun ini, tapi
saya masih punya main goal dan harapan.
Saya tentu nggak tau apa aja yang akan terjadi di tahun ke-24 saya. Bisa jadi
lebih berat, atau lebih mudah, atau biasa saja, atau menakjubkan, atau
menyedihkan, atau bahkan saya nggak punya waktu selama itu untuk menghabiskan
24 saya. Entahlah. Yet, now I'm in a state of
"I accept everything that happens to me. For whatever it is. It's up to You, God. I'm gonna try my best to embrace
it."