Kamis, 11 Agustus 2016

Pernikahan Dini

Seiring dengan tayangnya kembali sinetron Pernikahan Dini, entah kenapa bisa kebetulan juga lagi in mengenai pernikahan Alvin, anaknya Ustadz Arifin Ilham, yang mana dia masih di bawah umur menurut Undang-undang. Berita ini cukup menuai pro dan kontra. Apa penyebabnya? Tidak lain tidak bukan karena umur itu sendiri sih. Saya sendiri berpendapat kalau tidak ada yang salah dari menikah muda. Setiap orang berhak untuk memutuskan kapan dan di umur berapa mereka menikah. Namun, menurut saya, menikah bukanlah suatu hal yang bisa tidak kita pikirkan matang-matang karena ada banyak konsekuensi yang akan diambil ketika kita sudah tidak hidup ‘seorang diri’.

Saya memang tidak mengikuti berita pernikahan Alvin ini dari awal. Kebetulan pas saya nonton Alvin diwawancara, dia mengatakan sangat menyayangkan seks bebas yang terjadi di kalangan remaja. Daripada zinah, mending langsung nikah saja bisa jadi ibadah. Ya, saya memang dengar alasannya setengah-setengah gitu sih. Jadi kalau ada kesalahan dari opini saya, ya itu datangnya dari saya pribadi bukan siapa-siapa.
Pokok ‘permasalahan’ dari pernikahan dini adalah umur. Mungkin kalau pernikahan kakaknya dini mah boleh kali ya karena lebih tua dari dini huhu jayus. Menurut undang-undang, laki-laki boleh menikah ketika sudah berumur 19 tahun dan perempuan 16 tahun. CMIIW. Pada umumnya, seseorang akan lulus SMA pada umur 17 tahun, maka di umur 19 tahun diharapkan seseorang setidaknya mempunyai penghasilan jika ia memutuskan untuk tidak melanjutkan studi. Saya rasa, undang-undang menetapkan umur untuk pernikahan bukanlah tanpa pertimbangan. Itu pun semata-mata sebagai upaya ‘mensejahterakan’ penduduknya. Diputuskannya umur tertentu adalah mungkin salah satu upaya pemerintah untuk memastikan bahwa penduduknya sudah cukup siap finansial untuk melakukan pernikahan.

Yup, hal pokok selanjutnya adalah finansial. Seseorang yang sudah menikah, rasa-rasanya janggal jika masih bertumpu pada orang tuanya. Suka atau tidak, menikah itu butuh uang. Untuk menghidupi kita sendiri, pasangan, dan anak-anak kelak. Baik untuk memenuhi kebutuhan pokok seperti makan, tempat tinggal, dan pakaian maupun kebutuhan sekunder seperti pendidikan, hiburan, dan lain sebagainya. Se-belia apa pun umur kita, mau tidak mau kita harus siap untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan tersebut.

Selain itu, di umur yang masih belia, sudahkah cukup siap untuk selanjutnya menghadapi persoalan-persoalan hidup yang bukan lagi hanya mengenai kepentingan pribadi? Saya sangat setuju dengan pernyataan “Kedewasaan tidak bisa ditentukan dari umur”, tapi juga sepanjang saya hidup 22 tahun di dunia ini, saya menemukan bahwa umur juga tidak bisa dibohongi. Saya punya teman sebaya, tapi dia bisa sangat bijak dan dewasa lebih dari saya. Namun, umur tetaplah berbicara. Ada kalanya ia terlihat manja dan masih ‘kanak-kanak’. Dan sekanak-kanaknya seseorang, kalau dia sudah cukup berumur, dia akan ada kalanya bertindak dewasa. I hope you get my point.

Lagi-lagi menurut saya, menikah bukanlah hal tanpa konsekuensi. Kita tak lagi bisa memikirkan diri kita sendiri, ada pasangan yang juga harus kita pikirkan. Mau tidak mau, kita pun akan sedikit banyak berkorban atas apa yang akan kita putuskan. Yang mana, sadar atau tidak, kita akan sedikit banyak mengorbankan satu dan lain hal. Sekolah misalnya. Memang, kita masih bisa tetap bisa mengambil S1, S2, dan seterusnya, tapi tentu saja pasangan dan anak adalah sudah menjadi prioritas utama kita. Menikah juga bukan hanya urusan individu yang ingin menikah. Ada keluarga dari masing-masing pihak yang perlu kita hadapi yang mana kadang itu juga tidak sesederhana yang kita pikirkan.

Tidak ada yang salah dari menikah muda jika sudah siap dengan segala konsekuensinya. Tapi saya pun cukup menyayangkan kalau alasan menikah hanyalah untuk mencegah zinah. Menurut saya yang ilmu agamanya tidak lebih besar dari ukuran semut, rasa-rasanya masih banyak ibadah yang bisa mencegah dari perbuatan zinah. Contoh yang paling esensial adalah sholat. Kalau kita memahami seluruh isi bacaan sholat bukan hanya sekedar untuk menggugurkan kewajiban, saya rasa, kita akan merasa menjadi sebenar-benarnya budak Allah dan mengabdi seluruh jiwa raga kita kepada Allah yang mana jelas, kita akan berusaha melakukan segala perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya termasuk zinah. Hal selanjutnya yang bisa kita lakukan adalah dzikir. Dengan dzikir, kita jadi mengingat Allah. Jika Allah sudah memenuhi hati dan pikiran kita, kita akan selalu merasa Allah melihat kita kapan dan di mana pun ya masa mau zinah kan? Atau, kita bisa melakukan ibadah lain yang memang tujuannya untuk mengendalikan nafsu kita: puasa. Jangankan untuk memenuhi nafsu birahi, buat makan minum aja nggak boleh kan kalau kita lagi puasa? Dan yang terakhir, yang paling ‘ngena’ menurut saya: ingat mati. Udahlah, kalau ingat mati mah mau kita lagi jungkir balik ngakak kaya apa pun juga langsung bisa kicep. Kalau kita ingat mati, boro-boro mikirin gegalauan apalagi zinah nggak sih? Yang ada kita langsung merinding dan bawaannya pengen taubat aja berharap jiwa kita bersih dari segala dosa yang padahal kalau denger adzan aja masih mager buat cepet-cepet sholat huhu. Intinya, banyak ibadah lain yang bisa kita lakukan kalau hanya untuk mencegah zinah. Ingat loh ya, ‘kalau hanya’. Tapi jika ternyata keinginan menikah lebih dari itu, ya silakan boleh banget banget. Apalagi jika semua rukun nikah sudah terpenuhi, punya penghasilan cukup, dan siap akan segala konsekuensi minimal yang saya sebutkan di atas, mau berapa pun umurnya, ya sah-sah saja. Dan mungkin itu lah yang terjadi pada Alvin. Dia sudah sesiap itu. Saya juga aslinya pengen nikah muda kok, cuman kan ada beberapa rukun nikah yang harus terpenuhi. Yang pertama, mempelai wanita. Yang kedua, mempelai pria. Nah, baru syarat kedua aja saya masih belum mampu, jadi yaudah, gagal mau nikah muda hahahaha cry. Gak ding, canda.

Di benak saya, menikah adalah ibadah yang bukan hanya untuk mencegah zinah. Butuh kesiapan lahir dan batin untuk mengarungi tingkat kehidupan yang lebih ‘dewasa’ ini. Namun, saya bukanlah ukhti-ukhti sholehah yang ilmu agamanya udah tinggi. Bahkan kalau dosa bisa kecium, mungkin dosa saya udah kecium sekali pun kamu lagi di Afrika karena saking banyaknya dosa saya huhu. Opini ini datangnya dari manusia biasa yang masih haus akan ilmu fiqih dan pemahaman aqidah. Kalau pun tidak sesuai, ya mohon dimaklumi dan diingatkan. Lagian, ini mah cuma pencitraan aja ding.