Selasa, 01 Mei 2018

Menuju Seperempat Abad


Saya jadi teringat, tahun lalu saya juga menulis tentang awal tahun ke-23 saya di sini. Waktu itu saya bilang saya nggak lagi hype ulang tahun, karena ya buat apa. Toh kita semakin dekat pada kematian. Tapi anyway, nggak lama ini saya baca blog-nya Kak Tirta alias @romeogadungan tentang postingan tahunannya mengenai usianya yang menginjak tahun ke-30. Isinya berupa kilas balik dan refleksi diri. Terus saya mikir, wah seru juga tuh. Saya bisa nostalgia dan teringat apa dan bagaimana perjalanan saya dari tahun ke tahun, seenggaknya buat saya baca dan kenang sendiri suatu saat nanti. Dan ya, yang saya bilang saya nggak mau terlalu hype ultah malah sekarang jadi ajang buat refleksi tahunan. Namanya juga Ellis, aneh malah kalau nggak labil. Eh tapi kan ini nggak hype, hanya refleksi aja *debating myself*.

Nggak banyak yang terjadi di tahun ke-23. Tapi, saya akhirnya meraih bachelor degree saya. Dulu saya berpikir, lulus/wisuda itu hal yang biasa aja. Karena toh banyak sekali orang yang mencapai hal yang sama. Sampai saya menemukan di sekitar saya, ternyata nggak semua orang punya kesempatan untuk meraih level ini. Ternyata juga ada orang-orang yang merasa seberuntung dan sebersyukur itu bisa meraih bachelor degree, entah karena faktor perjuangan secara materi maupun secara background pendidikan keluarganya. Saya? Saya tetap merasa nggak se-spesial itu sih sudah wisuda. Tapi, karena perjalanan menempuh wisuda ini benar-benar menguras jiwa, raga, air mata, dan dana haha akhirnya ketika saya sudah sidang, ternyata rasanya selega itu. Benar-benar lega.

Masa-masa skripsi ini super campur aduk. Se-campur aduk saat ketemu orang yang belum mampu kita lupakan sedang berjalan berdua dengan yang lain *apasih* *caper 1*. Saya nggak pernah mengira kalau saya akan menyelesaikan skripsi selama ini. Karena ya pada dasarnya saya bukan tipikal mahasiswa rebel yang, walaupun saya merasa agak salah jurusan, suka cabut dari kelas atau mangkir dari tugas. Mungkin bisa dihitung dengan jari berapa kali saya bolos kuliah. Jadi saya pikir, walaupun skripsi nggak akan mudah, seenggaknya saya bisa mengerjakannya sesuai rencana saya. Tapi ternyata, semua rencana menguap gitu aja. Dari awal saya dapet dosen pembimbing, jalannya udah di luar dugaan. Beberapa bulan pertama, saya masih woles. Tapi lama-lama, kok teman-teman seangkatan saya udah pada lulus ya. Saya mulai cemas, tertekan, dan hilang nafsu makan sehilang-hilangnya. Sampai puncaknya, setiap saya bangun pagi, bukan doa bangun tidur yang saya lakukan, bukan juga buka HP. Tapi, saya langsung menangis tanpa alasan. Saya juga nggak mengerti apa yang terjadi sama saya. Di satu sisi, saya tau skripsi ini bukan apa-apa dibanding permasalahan hidup yang lain. Tapi di sisi lain, dude, it's so much consuming. Saya bukan tipe orang yang mudah nangis anyway. Jadi kalau sampai saya nangis gitu aja, mungkin itu berarti saya benar-benar lelah dan nggak tau harus gimana lagi.
Pada akhirnya, saya menyadari, walaupun ini semua di luar kendali saya, nggak ada sesuatu atau seseorang yang bisa disalahkan. Bukan juga dosen saya, kampus saya, jurusan saya, atau saya sendiri. Setiap planet berputar pada porosnya masing-masing dan setiap planet itu juga menjalani fungsinya masing-masing. Begitu pun dengan manusia. Kita berjalan di jalan kita masing-masing dengan tujuan dan maksud masing-masing pula.

Btw, seperti kata pepatah, tak kenal maka tak sayang. Tapi pepatah itu nggak akan nyambung sama apa yang mau saya tulis kok. Cuman mau memulai paragraf dengan kalimat itu aja. Karena walaupun udah kenal, udah sayang tapi kalau nggak berbalas ya buat apa juga *apasih* *caper 2*.
Di tahun ke-23, lagi-lagi saya menyadari betapa semua orang bisa berubah. Pun saya, kamu, dia, atau mereka. Dan perubahan itu bisa dalam bentuk apa pun. Bisa status, sifat, sudut pandang, maupun rasa. Orang yang berasa masih kemarin saling bertukar kabar dan cerita, jadi tempat berkeluh kesah, tau satu sama lain hari ini ngapain aja, bisa begitu drastis menjadi asing hari ini. Jangankan bertukar kabar, saling sapa aja enggak. Semuanya seperti kembali seperti semula: asing. Bedanya dengan orang yang benar-benar asing adalah kita pernah punya memori bersama. Dan sialnya, otak kita nggak diciptakan sama seperti memori di laptop yang bisa kita pilih untuk menghapusnya ketika kita nggak pengen memori itu tersimpan lagi. *Wagelaseh bahasa w dah kek anak galaw Tumblr belum? Hahaha*. Lucunya, ini bukanlah pertama kali yang saya rasakan. Dulu pernah juga beberapa kali merasakan hal yang sama. Tapi kok ya rasanya tetap sama: aneh. Aneh menjadi asing-bersama-dan kemudian asing lagi. Mungkin benar apa yang Gilang KR tulis, "Sayangnya, tidak peduli lima, atau sepuluh, atau bahkan dua puluh kali kita mengalaminya, tidak lantas membuat kita menjadi terlatih patah hati."

Di sisi lain, saya juga menyadari, orang yang dulu nggak pernah saya pedulikan keberadaannya padahal dia ada di sekitar saya, bisa begitu menakjubkan untuk dikenal. Orang yang selama ini saya kira "nggak baik" karena saya mendengar dari orang-orang, ternyata bisa jadi teman sebaik itu. Bahkan lebih baik dari yang saya bayangkan. Dia bisa jadi orang yang bisa saya andalkan dan saya percaya. Semua ucapan orang dulu yang pernah saya dengar tentang dia menguap gitu aja ketika saya mulai mengenal dia secara langsung. Dari sini saya jadi tau, kita nggak pernah bisa benar-benar menilai orang kecuali kita mau mengenal dan memahaminya lebih dalam. Dan nggak peduli sebaik apa pun kita, penilaian orang di luar bisa jadi sejahat itu.

Lain halnya mengenai sudut pandang hidup. Mungkin karena skripsi saya kemarin nggak berjalan sesuai rencana dan itu sangat amat melelahkan. Saya jadi memandang berbeda sekarang. Saya udah nggak punya "papan rencana" tentang apa-apa yang mau saya lakukan. Saya jadi cenderung untuk menjalani apa yang sekarang ada di depan mata dengan sebaik-baiknya. Dan ternyata, hidup seperti ini nggak se-"buruk" yang dibayangkan. Saya justru menemukan hal-hal yang di luar dugaan in a good way. So now I tend to let life surpise me. Hopefully I'm ready, or at least strong enough, to face it.

Ada beberapa hal lain yang saya alami di usia ke-23 saya. Tapi sepertinya, postingan yang awalnya diniatkan sebagai refleksi dan malah berujung curhat dan caper ini ternyata udah terlalu panjang. Jadi daripada saya semakin keliatan alay-nya dan menjatuhkan pencitraan saya, ada baiknya mungkin saya menyudahi saja. Walau saya nggak sedang mempunyai a board vision untuk menjalani tahun ini, tapi saya masih punya main goal dan harapan. Saya tentu nggak tau apa aja yang akan terjadi di tahun ke-24 saya. Bisa jadi lebih berat, atau lebih mudah, atau biasa saja, atau menakjubkan, atau menyedihkan, atau bahkan saya nggak punya waktu selama itu untuk menghabiskan 24 saya. Entahlah. Yet, now I'm in a state of "I accept everything that happens to me. For whatever it is. It's up to You, God. I'm gonna try my best to embrace it."

0 komentar:

Posting Komentar