Rabu, 31 Desember 2014

New Year is Near!

New year has always been a good idea to start over new dreams, new spirit, and new resolutions! There is always something magical in the euphoria of the new year. People begin to see new hope and try to write their resolutions out for the following year. So do students. Getting a better GPA, being a more dilligent student, making more money, and traveling a lot are merely several things of their bucket list. Unfortunately, we often find such spirit only in the beginning of the year. The following months later, we often find ourselves in the middle of nowhere and even forgetting the resolutions we have already made. By then, we come to realize. It is important to look forward, but it is also important to look behind so hopefully we can learn from it to get us better and better.

After all, we come to the ending. Resolutions are not merely to be written out, having courage to tick all of the things off in the bucket list play more important role in walking the way of the whole year.
-Ellis Rizqiyah-

Halooo! Wah bentar lagi pergantian tahun baru masehi nih. Gimana menurut pendapat teman-teman tentang ini? Sebagian orang percaya bahwa sebagai muslim kita tidak boleh merayakannya, kenapa? Karena kita bisa dianggap mengikuti kaum tersebut. Sebagaimana tersebut dalam hadits bahwasannya barangsiapa yang mengikuti suatu kaum maka ia termasuk dalam kaum tersebut. Selain itu, merayakan tahun baru juga lebih banyak mudharatnya daripada manfaatnya. Ke luar berfoya-foya, main-main, ketawa-ketiwi ngomongin yang ngga penting, apalagi kalu bukan dengan mahrom. Semoga kita semua selalu dalam lindungan-Nya. Aamiin. Tulisan berbahasa Inggris di atas sebenarnya saya tulis untuk kepentingan rubrik buletin Quills EDSA akhir tahun. Isi lengkapnya sebenarnya menyebutkan isi rubrik lainnya, tapi saya potong untuk saya posting  di blog saya. Dan saya rasa cukup menarik untuk saya post.
 
Segala sesuatu memang tergantung dari niat. Kalau justru kita ke luar di malam tahun baru ke majelis ilmu, kenapa engga? Menghadiri tabligh akbar atau pengajian, kenapa engga? Niatkan karena Allah, insya Allah manfaat. Pengalaman tahun kemarin, saya dan teman-teman pergi ke 0 KM pas malam tahun baru. Penasaran aja, ada apa di sana, orang-orang pada ngapain. Bukannya terhanyut suasana malam tahun baru, teman saya malah pusing dan mual gara-gara ada banyak banget orang wkwk. Sumpek memang dan ngga tau mau ngapain di sana. Walhasil, sebelum jam 9 pun saya dan teman-teman memutuskan pulang ke kos. Malahan kami sempat bingung mau naik apa pulang. Harus jalan dari Alun-alun Kidul sampai lampu merah depan hotel Liman (eh nama hotelnya bener gak ya? >.<). Trans Jogja, angkot udah ngga ada. Taksi ditelfon pada penuh. Bingung sendiri takut ngga bisa pulang. Bukannya seneng malah puyeng liat lautan manusia berhuru-hara. Tapi akhirnya, setelah sekian lama menunggu ada taksi yang lewat juga. Cus deh kami pulang. Sampai di kos, lega banget bisa tiduran dan istirahat. Dan berujung nonton drama Korea sama teman-teman! Eh, mudharat juga ngga sih? -,-

Malem ini saya ngga punya rencana pergi kemana-mana. Mau hang-out rasanya udah males aja ngeliat pengalaman tahun kemarin ditambah lagi ilmu baru yang saya dapet dari grup diskusi Remaja Islam di Line tentang hukum perayaan tahun baru. Pengen di kos aja deh, nugas hehe. Tapi, kalau kita menjadikan momen tahun baru ini sebagai muhasabah diri kayanya oke-oke aja. Seperti yang sudah saya tulis di atas, introspeksi diri, bikin resolusi, dan perbaiki ngga ada salahnya kan? Tapi memang, semua hari itu baik dan istimewa karena toh tiap hari juga hari baru kan? Mungkin, introspeksi itu, bikin resolusi itu, perbaiki itu bisa dilakukan setiap hari. Insya Allah. Kalau setiap pergantian tahun, orang pada bilang Happy New Year  kenapa kita juga ngga bilang Happy New Day? Kan tiap hari hari baru ._. Well, Happy New Day!

P.S. baru bikin akun ask.fm nih, kali2 ada pertanyaan bisa langsung tanya di sini :3 ask.fm/ellisrizqiy

Minggu, 07 Desember 2014

My First ever Performance with Rampoe UGM

It was December 3, the day I first ever performed traditional dance from Aceh called Likok Pulo with Rampoe UGM, a department of IMABA UGM (Hima Sastra Asia Barat UGM), concerning on traditional dance of Aceh. Never thought it would have got such big applause from the audience since, I think, it was far from perfect. It was not my first time for being on stages. I, several times, have performed in some places to play traditional music instruments with the friends of Angklung Kujang. However, I'd never experienced dance performing! Without having any music instruments on my hand, of course, it felt so different to me. My mind was immidiately blowing to my first performance playing Angklung. It was in UIN Sunan Kalijaga when I was in the first semester (read: maba). I was so excited and nervous at the same time. Emm..to be honest, not really nervous because, sadly, I only played some musical note in one song. Not more than five I guess! Syediiih.But all over, it had been so nice. I felt all the hard work on practicing had paid off by hearing the crowd of the audience. Oh wait, I think this is too much. Let's back to the main topic!

Several days before performing, i got a little hectic asking people, 'Punya sarung kotak-kotak merah nggak?, 'Punya kaos item polos nggak?, 'Punya sabuk item nggak?', 'Punya...nggak?', 'Punya...nggak?', punya punya punya?
Fortunately, I got all the stuffs I need at the end.
I remember, at the day, my classmates and I rebelled one of the class. All students decided not to attend the class and go home right 10 minutes after the lecturer texted, 'I will be there in 10 minutes.' When we exactly were out of the class, we saw the lecturer went up the staircase walking to the class. I couldn't imagine how would his face be finding nobody was in. We're really sorry, Papah Y*s* :( ah out of topic lagi..
At 5 p.m. my friends and I went to the room where we hecticly got our faces made up. So many people in the room since there were more than 40 performers were girls. Here and there were line to get our faces made up. There was pet peeve then. I felt tlike I wanted to get mad when I found one of my make-up equipment got accidentally exchanged. Mine was still new, but all I got was the empty one. And the worst thing was it's not actually mine! It belonged to my Kujang friends! I have no idea where it really was. So sad.
Grufie after getting made and dressed up

Sampe mba2nya bilang, 'yg udah selesai foto2nya di luar ya' :'D


I took my prayer in between after getting made up and before getting dressed up. At almost 9 p.m. we had already been on the backstage getting ready to perform. I didn't think I was nervous cause I thought I had been experiencing being on stages, but apparently my hands began shaking right several minutes before the MCs called us out. Well, show must go on!
Forgot to mention, there were 60 performers performing Likok Pulo in this event (Rekor Rampoe!)

From the rampoeugm instagram account. #rampoeperdana
 
I did realize, I made some mistakes during my dance. I thought it was not because I forgot the march of the dance, but rather the nervousness that couldn't be handled. So did my friends. 'Duh tadi ada yang salah', 'Eh, tadi pas yang bagian ini aku salah tauk', and blablabla, said some of them after performing. While performing I heard the audience gave us so much applause in every break of the dance. At the end of our performance, I heard so much more applause from them. Some screamed, 'Lagi! Lagi!' Yep, nothing's happier than to hear the audience screaming Lagi! Lagi! Lagi! A often feel it when performing Angklung. (Nah kan malah balik lagi ke Angklung. I guess I've been missing to play it so bad lately!) Realizing the mistakes we made, I thought the seniors would give big critics to us, but I was wrong! Some of them said that it was a great performance. Some others said it was good enough for the very first performing. And one said, 'Entah kenapa, saya merinding liat kalian nampil!'  I was a little shocked, 'Did we look that great?' haha. But all over, so glad to hear that!
Another senior gave us some evaluations. I honestly looked forward to hear his comments cause I know he would tell the truth! Haha. I did agree with him that this was just a beginning. Eventhough it was not the best one, at least, we tried our bests. And the most important thing is that we need to learn more. To be the best is not instant, right?  We need courage to reach it. And in the end, we'll notice,

It's not about the ending, but it's rather about the process. Sometimes, it is experiences that teach us a lot. #tsaaah :'D

After performing


Last but not least, terima kasih kepada kakak-kakak Rampoe UGM yang sudah mengajar dan mendukung kami. Terima kasih sudah mau berlelah dan bersabar untuk mengajari kami menari. Kami bisa karena kalian ada :'D *hug in a group*
#satu

Also, thanks to all my friends that had lent me the stuffs I need for the performance {}
Thanks for visiting and reading my blog.

P.S. baru bikin akun ask.fm nih, kali2 ada pertanyaan bisa langsung tanya di sini :3 ask.fm/ellisrizqiy

Love,
Ellis. R

Selasa, 21 Oktober 2014

How do You do, Purba Mountain!

It had been a long time I wanted to go climbing up a mountain. I still remember the moment when my friend in high school told me, "Naik gunung tuh emang capek, Lis, penuh perjuangan. Tapi kalau udah nyampe atas, ngga nyesel pokoknya, udah ngga bisa ngomong apa-apa, dan ngga bakal kapok muncak". It was the first time I was looking forward to climb up a mountain! However, it is never easy to me since it is not as easy as visiting a friend's house. Moreover, time, fund, and energy become obstacles for me. One day, one of my friends told me that there is a (little) mountain, in Jogja, to climb it up for beginners. Only need for about 60 minutes to reach the top. She said that perhaps, it is not really a mountain, it looks rather like a kind of tourist attraction. At that day, she invited me and others to go there on the next day. Unfotunately, I had had an agenda on that day which meant I could not join them. Since then, I had a plan to go there. 

It might be true that what we are thinking about can attract everything around us to make it comes true.  When I kept thinking about it, my classmate, suddenly, told me that she wanted to go to Purba Mountain. I immidiately screamed then told her that I wanted to, too. We made a plan soon after that!
Man can plan anything, it is God, however, who determines the destinies. The early plan that I made was fail. My classmates, Fulan, invited her friends to join us. Unfortunately, one of her friends suddenly informed that she could not go at that day. Thus, we rescheduled the time then decided to go climbing on April 9th which was coinciding with the election day.

At the morning, I had to take a mutation letter in the hamlet of Karangmalang's house to get the perforate permit. It was somewhat tiring since I have to go toing only to get the letter. At 8 o'clock, I finally got the letter and went away to the TPS (voting place). Yeay! My tip of little finger had been finally colored the purple ink. It was my first time to vote in the national election. Not really excited, but I had prepared for this a long time ago. After that, my friend and I were waiting for the other friend. We planned to go at 9 o'clock, but there was an obstacle that forced us to wait longer. I do not really remember at what o'clock we began to leave. Perhaps, it was around 10 o'clock. We need for about 60 minutes to get there. When we arrived there, we immidiately grabbed the ticket and started to climb up the mountain. Purba Mountain, here we come! 

At the first minute, everything was going well. The track was flawless. We kept climbing up and up. First 15 minutes I started to feel tired, perhaps, it was because that was my first time to climb up the mountain. We decided to have a rest on a (maybe) big stone. There, i saw the scenery around me was green. Trees were looked high and so many. I closed my eyes and enjoyed the new atmosphere I just felt. Seeing that scenery was more than enough for me since I had never had such experience. All I usually see is many buildings in the suburb of Jogja. Moreover, in my hometown, I had never experienced something challenging in any natural attraction. I, again, looked around, then started to think of how it would be looked from the top of the mountain. However, because of my lack of experiences, my mind could not imagine that. About 10 minutes later, we continued the track.

I heard my own footsteps paced the track. It stamped about. The track was no longer flawless. We had to climb the wooden stairs with a big stone above it. When I saw it, I honestly thought, ‘what if the stone suddenly fall out?’ Fortunately, it was only in my mind. I kept walking following my friends. When I found stones that I should pass, I had just realized that I wore inappropriate shoes! I wore the shoes that usually I use to go to campus, seriously, I did not know that the track would be like that. Of course, wearing them was somewhat disturbing, I could almost fall out when passing the stones. Moreover, I also used the wrong clothes! I wore white sweater that more approperiate to use it in campus or one’s house. I was getting tired. Biking everyday to campus did not enough to make me fit and well seemingly. Up, up, and up. I was really exhausted. Had some water only vanished a little of the tiredness. Then suddenly something was running in my mind, ‘Gue ngga mau naik gunung lagi, gila sebegini capeknya baru separuh jalan!’ Fortunately, my friend did understand that I was tired. She walked slowly and shouted, ‘Ayo, semangat, El!’ I think, in the beginning of the track was more tiring than in the middle. Perhaps, it was because in the beginning, the track was flawless so I had to continously walk, whereas, in the middle, the track was no longer flawless, that made me to be careful and walked slowly. Yet, for me, it had been really tiring!
 
Continously climbing up made me motionless which meant I was getting really tired. My friend in front looked back and saw my face. Immidiately she said, ‘Muka kamu pucet, El. Mau istirahat dulu?’ I only responded, ‘Iya po?’ then continued to walk. We followed the people in front of us, but suddenly they stopped and told us that it was a wrong way. ‘Iki sih buntu, kowe ki piye e mas. Aduh, piye meh bali.’ One of them said. It seemed that they were somewhat panic. Yet, my friends and I, were not that so. I myself felt happy. Because of that, I could take (again) some rests. Fulan and I was sitting calmly. The other friend climbed up sort of really a big rock trying to look for where we should go. The people we followed had just gone down and looked for another way to get the top. After some minutes, we continued the track. My friend that had looked for the track from the big rock had known where we should go to get the top. Yeay! We took another way.

Right track! I saw some directions showing the way to the top. Then I passed a sign ‘Puncak, Mas Bro!’ I was really happy to see that. I was thinking of I finally reached the top after a looooong hard way. Felt like it had been really tiring. Sadly, the sign I saw was out of expectation. I thought it only needs several meters to get there after the sign. And yet, I was wrong. We had been walking more than 15 minutes, but the top had not been looked. I almost gave up. I asked my friends to stop for a while. I sat on a rock and immidiately had some water. I really did not know what I feel. My head was not dizzy, but it also was somewhat unusual. I felt like I did not want to walk any longer. My eyes was not sparkling like fireflies, but it was also not comfortable as usual. Then, I felt a little dizzy. I frickled my eyes and did not let my tounge was quiet. I tried to say something so that my mind was not empty. Then, after several minutes, I felt better then shouted to my friend, ‘Yuk, Ful, lanjut!’

I really wanted to go home, that was why I asked my friends to continue the trip. I really wanted to end this as soon as possible. All I wanted was going back home and sleeping! Walking several minutes from the place we used to take a rest, we finally found wooden staircase that connects to the top of the mountain. I carefully took a ride of it. Fulan, who was in front of me, first reached the top and immidiately screamed, ‘Kebayar, El!’ I did not really care about that. I still focused on my foot that was taking a ride the staircase. When it went to be the last stairway, I looked around me all green. I screamed out loud in my heart, ‘KEBAYAR! KEBAYAR BANGEEEEEEETTTTT!!

I was enchanted when I first saw it. It was really my first time to see such scenery. I could see clouds closer, feel the wind touch my face, and...and...aaaaaaa I really did not know what words to describe. I was happy, so happy. I was really enchanted to see this!

There are some people in there. As I said before that this mountain is a tourist attraction, so we could find a lot of people there, on the way or even on the top of the mountain. I sat beside Fulan. We sat right in front of another top of mountain enjoying the view. Ah, I forgot something! ‘Where is my tiredness?’ I really forgot about it! This was too awesome to be protested. I did not remember that I had been really exhausted. The view really made me speechless. Thus, I know why my friends told me that no matter how tired you were, you would never be disappointed after getting the top. 

I still felt enchanted, so did Fulan. When I glanced up, I saw the sky hanging closer. Then I looked around and all I found was composure. Everything was green and really enjoying. I took up my bag and made it as a pillow. I lied on it. The clouds seemed to move faster. I closed my eyes. The wind touched my face softly. Then I suddenly felt that I am nobody. I am just a (very) little part of His creation. Really, there is no use of being conceited.
 
We got lunch together since we had already prepared and brought it from the house. Ah, seriously, this was the most beautiful lunch view I have ever had. Actually, I wanted to stay longer, but we had to take a prayer which meant we had to go down. Several minutes later after having the lunch, we prepared to get down. I set my bag and be ready to go down. Well, thank God for this amazing place. I will be right back, Purba Mountain!

Senin, 06 Oktober 2014

Senin, 15 September 2014

(Ceritanya) Lagi Galau

Banyak banget hal yang lagi saya pikirin sekarang. Bahasa gaulnya, saya lagi agak galau-galau gitu. Kenapa? Bukan. Bukan karena di-PHP-in gebetan. Bukan juga karena dicuekin. Ditolak apalagi, bukan. Aduh -_- haha. Tapi pikiran saya ngga jauh-jauh dari belajar, kuliah, jurusan, kuliah, belajar, belajar, kuliah. Pokoknya ngga jauh-jauh lah dari ketiga hal itu. Entah kenapa akhir-akhir ini banyak ngedenger orang-orang di sekitar saya yang going abrod. Ada yang ke Inggris, Jepang, Thailand, Malaysia, Singapore, dan lain-lain. Dari mulai yang presentasi paper sampe yang beneran kuliah di sana. Fiuuuh. Saya yang termasuk sebagai kategori pengen abroad banget berasa makin luar biasa ngiri dan galau tingkat dewa pengen nyusul mereka. Alay sih emang bahasanya. Pokoknya, saya makin ngerasa harus banget abroad terutama pengen menimba ilmu di sana.

Mungkin sebagian orang menganggap kalau saya kurang menghargai pendidikan di Indonesia atau berpikiran yang semacamnya. Tapi bukan, ini bukan tentang bagus-bagusan mana univ di dalem atau di luar. Tapi lebih ke...saya pengen melihat dunia #tsaaah. Entah dari mana jiwa petualang (not really sih) ini muncul gitu aja.
Mungkin dari berawal saya kuliah di Jogja. Ini bikin saya sadar kalau dunia itu ngga selebar daun kelor. Saya juga baru sadar, kalau kita tau banyak bahasa, budaya, dkk, otak dan pikiran kita lebih terbuka, bahasa kerennya open minded lah ya. Karena kalau cuma tau satu bahasa, satu budaya aja kita relatif lebih susah buat bisa berpikir luas, karena tiap hari kita ketemunya itu-ituuu aja. Ibaratnya, ngga ada sesuatu yang baru, ngga ada yang perlu diadaptasi. Kalau dari pengalaman saya pribadi sih, pergi 'ke luar' itu ngga bakal bikin kamu lupa kampung halaman kok. Saya kuliah di Jogja yang otomatis tinggal di Jogja (pula), ngga bikin saya benci sama kampung halaman. Walaupun tinggal di Jogja enak, aman, dan nyaman, tapi justru ngebuat saya sadar ternyata Cirebon selalu spesial di hati. Malah, jadi ngebuat saya lebih menghargai kebudayaan, seni, dan adat Cirebon. Dan jadi tersadar pula kalau Cirebon itu super duper ngangenin. Jadi keinget temen saya yang pernah bilang, "Seblangsak-blangsaknya Cerbon, tetep ngangenin ru." Iya, saya setuju :') nah maka dari itu lah, alasan saya pengen go abroad adalah bukan karena saya ngga cinta dengan tanah air, tapi lebih ke pemuasan diri untuk belajar melihat ciptaan-Nya secara lebih luas #eaaak dan untuk nyari pengalaman seluas-luasnya pula. Tapi, tentu, saya pengen Indonesia jadi rumah, tempat pulang. Di mana rumah adalah tempat terrrrnyaman di dunia. Saya pengen tetep balik lagi ke Indonesia nyebarin ilmu yang udah saya timba di negeri orang. Yah sukur-sukur bisa ke luar lagi entar *eh haha. (ini kok kaya udah berasa mau pergi ke luar beneran -_-). Tapi saya juga amat teramat sangat sadar kalau saya hidup saat ini, detik ini, hari ini. Yang berarti saya harus menjalani dengan sungguh-sungguh apa yang sedang saya jalani saat ini (baca: kuliah). Iya, saya harus hidup hari ini karena masa depan ditentukan oleh apa yang saya lakuin sekarang. Semua bakal percuma kalau saya cuma bermimpi-mimpi ria tanpa ada usaha.


Jumat, 15 Agustus 2014

Menunggu

Tak kau tahu, aku menunggumu.
Aku akan menunggu dengan memperbaikiku.
Jika aku dan kamu ditakdirkn untuk bersatu, kita akan bertemu.
Aku akan menunggu, terus memperbaikiku bahkan hingga aku dan kamu tak pernah bertemu.
Jika aku dan kamu lebih baik tidak bersatu, maka akan datang penggantimu untukku.
Jika aku dan kamu tidak bertemu, Allah lebih tahu itu.
Tidak, aku tidak akan menyesal menunggu.
Karena menungguku, memperbaikiku.

Rabu, 25 Juni 2014

Sabtu Malam di 0 KM

    Sabtu, 21 Juni 2014 adalah hari di mana saya dan teman-teman seperjuangan Kujang tampil di acara Festival Malioboro di Momumen Serangan Oemoem. Tak banyak waktu berlatih untuk penampilan kali ini. Saya dan teman-teman baru mendapat panggilan untuk berlatih kurang lebih satu minggu sebelum hari H. Walhasil, hampir setiap malam kami berkumpul di Asrama Kujang untuk latihan Angklung.
    Tibalah hari itu, Sabtu, 21 Juni 2014, selepas dzuhur saya dan teman-teman berkumpul di SO untuk melakukan check soundsekaligus gladi resik. Hari itu entah hari apa di jalanan 0 KM terlihat begitu ramai. Bukan hanya karena para pengunjung Malioboro, tetapi sepertinya memang sedang ada beberapa acara di sana. Sejauh saya menunggu giliran untuk GR, saya melihat banyak grup marching band bergantian melewati lampu merah. Saya juga melihat ada beberapa kesenian lain sepeti Reog Ponorogo, Barongsai, dsb. Berasa lagi nonton karnaval! Benak saya. 0 KM sangat ramai pada saat itu.
    Sekitar pukul setengah tiga, barulah giliran kami untuk GR. Kami cukup mengundang perhatian para pengunjung Malioboro. Beberapa di antara mereka masuk ke gerbang SO dan duduk untuk melihat kami sedang GR. Beberapa turis asing pun terlihat mengambil gambar ketika kami berada di atas panggung dan memainkan Angklung. Butuh lebih dari tiga puluh menit untuk berada di panggung untuk melakukan GR. Setelah usai, kami beristirahat sejenak dan kemudian saya dan teman saya bergegas pulang untuk sejenak beristirahat, memberishkan badan, dan mempersiapkan penampilan pada malam harinya.
    Selepas maghrib, saya dan teman saya bergegas pergi ke Kujang untuk mempersiapkan kostum (sebenarnya Cuma pakai samping :p) dan sedikit make up. Setelah itu cussss, kami langsung menuju lokasi. Here we go, we're gonna make the night!

    Sampai di sana, kami mendapat kabar bahwa kami tampil pukul 9. Saya melihat jam, 'Hmm..masih lumayan lama.' Di tengah acara, tiba-tiba hujan mengguyur. Karena panggungnya outdoor, terpaksa acara dihentikan hingga hujan reda. 'Fiiuuuh makin lama aja nih kita nampil' lirih saya dalam hati. Karena bosan dan mengantuk menunggu, saya dan teman saya pergi ke area stand untuk membeli minum, kemudian kami berdua masuk ke benteng Vredeburg untuk melihat-lihat. Ternyata di sana juga ada acara.
    Pameran Vrederburg
    Museum Wayang
    Resti
    Saya dan teman saya melihat-lihat beberapa museum temporal di sana. Tak lama setelah itu hujan mulai mereda. Kami memutuskan untuk kembali. Acara mulai dilanjutkan kembali. Sembari menunggu giliran, saya dan teman-teman melihat performers lain dari samping panggung. Saya mulai bosan menunggu dan fiiuuuh ngantuk! Karena saya tidurable alias bisa tidur di mana aja, akhirnya saya pun tertidur hanya dengan meletakkan kepala di atas tangan yang bersandar di lutut (Liiiiiiis Lis -__-). Beberapa saat kemudian Resti membangunkan saya. Saya langsung terbangun dan seketika mendengar salah satu aa' tertawa melihat saya tertidur u,u. 'Yuk, Lis, siap-siap bentar lagi mau nampil' kata Resti. Setelah sesaat mengumpulkan nyawa, saya langsung bergegas ikut berkumpul bersama teman-teman yang lain. saya melirik jam yang ada di tangan kiri saya, 'Wah hampir jam 10!'
    'Habis ini dari Jawa Barat ya. Siap-siap!' Salah satu panitia memberi aba-aba. Kami mengambil Angklung masing-masing dan berfoto sebelum perform. Barulah setelah penampilan dari....entah daerah mana, MC menyebutkan bahwa penampilan dari grup Angklung Jawa Barat adalah yang terakhir (pantes lama bangeeeeet -_-). Dan jeng jeeeeeng. Well, this is the time!
    Meskipun ini bukan kali pertama saya, tapi tetap saja rasa  nervous itu ada. Apalagi kali ini acaranya cukup besar dan di tempat yang cukup momentum pula. Ditambah lagi not yang saya mainkan hanya ada saya pemainnya. Partner saya beralih profesi menjadi gitaris. Walhasil sempat deg-degan juga begitu tampil. Sendirian cyin mainnya, padahal yang lain berdua! Haha. Kami sudah berada di atas panggung. Panggung tak begitu megah, tapi cukup luas. Lampu berwarna-warni menyoroti kami. Dan penonton terlihat memnuhi depan, samping kiri, dan samping kanan panggung! Sebelum memainkan Angklung, A' Heru memberi sedikit salam dan perkenalan. 'Siap?' Sahutnya. Bismillah..

    Not pertama dimainkan diikuti not-not berikutnya yang berpadu harmonis. Di tengah lagu, penonton bertepuk tangan dan bersorak. Senang rasanya. Ketegangangan mulai mencair. Saya pun menikmati lagunya dan perlahan-lahan rasa nervous meluntur. Manuk Dadali usai kami mainkan. Lagu berikutnya adalah Oplosan. Sedikit gugup karena not saya patokan dari reff  lagu. Lagu dimainkan, tiba di saat reff, beberapa penonton maju ke depan ikut bergoyang. Tak hanya saya, para pemain yang lain pun terlihat sangat menikmatinya. Penonton bersorak. Kamera dari depan, samping kanan dan kiri terlihat mengabadikan penampilan kami. Jeprat jepret. Senang rasanya haha. Melihat pemain yang lain di kanan dan kiri saya pun nampaknya mereka tersenyum lebar. Dan 0 KM pun bergoyang. Lagu kedua usai. Tepuk tangan bersahutan. Blitz dari kamera terlihat mengkilap-mengkilap. Kami pun hendak berpamitan. Tapi, MC berteriak, 'Lagi! Lagi!' Kemudian penonton pun bersahutan 'Lagi! Lagi!' Segera setelah itu MC menutup acara dan mempersilahkan kami memainkan lagu satu kali lagi. Lagu Oplosan pun dimainkan ulang dan penonton kembali bergoyang.

    Penonton sekali lagi bertepuk tangan dan bersorak. Kali ini lagu benar-benar usai. Sebelum meninggalkan panggung, kami berfoto bersama. Beberapa kamera terlihat ada di depan kami. Ckrek! Ckrek! Ckrek! Ckrek! Ckrek! Saya sampai bingung harus melihat ke kamera sebelah mana. Berasa jadi arteees! Haha -_- Sesi foto di atas panggung selesai dan dilanjutkan sesi foto di belakang panggung (Emm..mungkin lebih tepatnya di samping panggung). Entah berapa ribu kali kami berfoto, tapi nampaknya lelah latihan dan menunggu terbayar sudah oleh penampilan dan antusias penonton tadi. Well, we made it! We made the night, guys!
    We made the night!
    Tapi cerita tak usai sampai di situ. Saat kami sedang beristirahat, tiba-tiba ada suara keributan di lampu merah 0 KM. Orang-orang berlari ke sana untuk melihat apa yang terjadi. Teman di sebelah saya langsung mendekat dan berkata, 'Ih ada apa? Aduh, sieun.' Dan ternyata itu adalah segerombolan FPI yang entah dari mana tiba-tiba datang menggrebek dengan membawa celurit (katanya). Teriakan takbir kemudian terdengar dari tempat saya duduk. Saya tak begitu paham maksud dari penggerebekan ini. Entah definisi maksiat seperti apa yang mereka punya dan entah seberapa futur saya mendefinisikan makna dari jihad, yang saya tahu damai itu indah. Saya yakin, mungkin maksud mereka baik. Karena kejadian ini, gerbang di Monumen SO ditutup sementara dengan alasan keamanan.
    Sudah lewat pukul 11 malam, saya ingin pulang, tapi gerbang belum juga dibuka. Saya mengobrol dengan aa'-aa' yang ternyata wong cerbon juga. Tak lama, tapi lumayan mengobati rindu mendengar mereka bercengkerama dengan basa Cerbon, 'Kita pas lagi ning Cerbon get pernah mengkenen, ana FPI nggawa senapan...' hahaha.
    Hampir pukul 12 saya pulang. Sebenarnya gerbang di SO masih ditutup, tapi orang-orang melewati pagar dengan melompatinya dibantu oleh 1 kursi di dalam dan satu lagi di luar. Gerbang parkiran sudah dibuka. Yeaay! Akhirnya bisa pulang!
    Beruntung pintu gerbang kos belum dikunci. Ah, sampai kos juga akhirnya. Beberapa saat kemudian Resti datang diantar oleh teman pemain Angklung juga. Waktunya tedooooor!
    Well, it was one of the memorable moments in Jogja!



Senin, 31 Maret 2014

Mati Lampu di Karangmalang

Waktu itu saya sedang menonton sebuah fim sekaligus makan, tiba-tiba lampu kamar mati diikuti dengan lampu-lampu di kos. Mati lampu. Kos menjadi semakin gelap karena bertepatan dengan waktu maghrib. Saya tetap menonton film. Beberapa saat kemudian saya keluar kamar menuju balkon untuk memastikan ini benar-benar mati lampu bukan ngejlug. Ternyata memang benar, rumah sekitar kos juga tak bercahaya. Suara mba-mba kos masih terdengar entah dari kamar sebelah mana. Saya melanjutkan menonton film hingga beberapa saat. Ini bukanlah kali pertama mati lampu di Karangmalang di malam hari. Tapi, di sini jarang sekali mati lampu. Terakhir kali mati lampu di malam hari adalah ketika saya masih ngekos di blok A, itupun karena kabelnya konslet,  hanya ada beberapa rumah yang mati lampu. Karena waktu itu ada banyak teman kos, saya tak merasa takut ataupun panik.

Setelah beberapa saat melanjutkan menonton film, akhirnya saya memutuskan untuk sholat. Berjalan menuju kamar mandi memang rasanya biasa saja, tapi suara mba-mba tadi sudah tak terdengar, entah keluar entah diam. Mba-mba yang tak jauh kamarnya dari kamar sayapun kini tertutup. Saya melanjutkan langkah, begitu sampai di kamar mandi, gelap. Sendiri pula! Seusai berwudhu, saya memastikan kamar-kamar lain apakah ada orang atau tidak. Hanya ada satu kamar yang pintunya terbuka dan terlihat ada cahaya redup dari dalam, mungkin cahaya lilin. Saya sholat dengan keadaan netbook saya terbuka dan menyala. 'Lumayan ada sedikit cahaya,' ucap saya dalam hati. Di pertengahan sholat, netbook saya mati cahayanya, gelap sekali. Sholat jadi tidak khusyuk, membuat saya ingin cepat-cepat menyelesaikan sholatnya. Tak ada suara, semkain sunyi dan sepi. Oh ya, saya lupa menceritakan sesuatu. Saat ini sedang super loooong weekend. Senin tanggal merah. Jadi anak-anak kos banyak yang pulang kampung. Hanya tersisa beberapa orang di kos. Dan kebetulan juga Fiqi sedang keluar entah kemana, Ipil juga sudah tak di kos sejak pagi tadi. Saya benar-benar sendiri saat itu. Seusai sholat, saya langsung berkemas-kemas untuk meninggalkan kos. Saya akan mengungsi di Samirono malam ini, keputusan itu diambil saat sholat -_-

Sementara berkemas, saya kemudian terpikir, di jaman nabi belum ada listrik. Setiap malam seperti ini, betapa cahaya bulan sangatlah berarti. Tak banyak yang begadang, Rasulpun mengajari untuk cepat tidur seusai sholat isya. Mungkin tak ada anak-anak yang begadang, apalagi begadang karena mengerjakan tugas fufufu. Entah mengapa yang terpikir di benak saya adalah pada jaman nabi, bukan jaman manusia purba ataupun anglo saxon. Pikiran yang lain merasuk. Di dalam kubur, tentu lebih gelap, lebih sunyi, lebih sepi, tak ada yang menemani kecuali amal. Amal itulah yang akan menentukan kubur menjadi lapang dan terang atau justru sebaliknya. Sudahkah? Sudahkah banyak beramal? Selesai berkemas, saya langsung keluar mengunci kamar, turun ke bawah, mengambil sepeda, dan mengayuhnya hingga Samirono.

Ya Allah.. Ada banyak sekali di dunia ini yang harus disyukuri dan dikerjakan.

Sabtu, 22 Maret 2014

Titik Jenuh


Ada masa di mana kamu akan merasakan kejenuhan dari aktivitas yang kamu lakukan. Mungkin saya sedang berada di titik tersebut. Entah. Entah mengapa akhir-akhir ini saya merasakan sedikit hampa. Mungkin jenuh, mungkin juga homesick. Sampai saya disadarkan oleh teman saya yang mengatakan,  'Mungkin karena kamu ngga sesibuk dulu, El. Jadi kamu ngerasa gitu. Coba deh cari kesibukan lagi.' Iya, mungkin itu alasannya, 'gue selo bgt semester ini!'

Sebenernya sih, ngga selo-selo  banget, semester ini tugas makin membahana, cyin. Setiap minggu harus bikin semacem analisis tentang cerpen klasik, tugas kakek yang harus ngerjain modul, kuis, belum lagi presentasi-presentasi, dan serentetan tugas unyu munyu  lainnya.  Mungkin itulah, yang membuat saya akhir-akhir ini merasa jenuh. Hanya berkutat dengan tugas tanpa aktivitas luar kampus yang pasti. Paling cuma rapat rutin per minggu divisi 3 EDSA.

Dengan hanya kuliah di hari Senin-Kamis, dan kosong pada hari Jumat, saya semakin mempunyai alasan untuk menunda tugas, 'Ntar aja deh, kan masih ada Jumat Sabtu Minggu'. Deuh! -_- jangan ditiru ya, guys. Dan begitu udah Minggu, baru deh ngejerit, 'Wah, besok udah Senin lagi! Tugas gue gimanaaaaaa!' beberapa kali saya merasakan hal itu. Mungkin karena hanya melakukan itu-itu saja, saya menjadi merasa jenuh, dan karena saking selo-nya dari aktivitas, sampailah saya pada titik kehampaan yang mana (mungkin) itu terjadi karena kebanyakan bengong. Jadi aja, kegalauan, kehampaan, dan perasaan semacamnya merasuk.

Namun, saya sadar banget ini ngga bener. Saya ngga mau begini terus. Saya mencoba mencurahkan apa yang sedang saya rasakan. Semangat itu dateng dengan sendirinya ketika saya sudah berusaha menjemputnya. Setelah sekian hari saya mencari si semangat saya itu, akhirnya dia dateng juga hehe. Saya merasa gue banget begitu denger lagu 'Aku tak sanggup, menjadi biasa. Aku tak sangguuuuuuup!' Ya gitu, cuma kamu sendiri yang ngerti diri kamu selain Tuhan kamu. Dan cuma kamu yang paling bisa nyemangatin diri kamu sendiri. Jenuh itu wajar, tapi jangan mau terus-terusan ditemenin sama si jenuh. Cari cara untuk selalu semangat belajar yuks!

Salam syemangat,

Ellis.R, Yogyakarta.

Sabtu, 08 Februari 2014

Kau, yang kedua


Menjadi pilihan kedua terdengar menyakitkan. Karena bagaimanapun, setiap orang ingin menjadi yang pertama. Kali ini saya bukan akan menceritakan tentang bagaimana menjadi yang kedua tapi saya akan sedikit bercerita mengenai 'memilih' yang kedua. Siapakah dia? Let's check it out :p
Sudah dua kali saya mendapat pengalaman 'memilih' yang kedua. Mengapa dalam kata 'memilih' saya berikan tanda apostrop? Karena sebenarnya saya tidak benar-benar memilih. Bingung? Lanjutkan membaca :p
Memilih mana yang akan dipilih tentulah menjadi hak bagi pemilih. Dapat diasumsikan bahwa pemilih akan memilih pilihan pertama karena itu yang paling dia inginkan, pilihan kedua adalah opsi jika yang pertama tidak didapatkan, kira-kira begitu seterusnya. Betewe, kenapa jadi serius banget gini ya bahasanya -_-
Baiklah..saya hanya ingin sekedar share sedikit mengapa saya sekarang berada di sini, di Jogja, mengambil kuliah di mana dan jurusan apa. Jogja adalah bukan kota yang saya idam-idamkan untuk menjadi tempat mengais ilmu. Bukan berarti tidak suka, tapi karena saya mempunyai universitas impian yang sudah saya idam-idamkan semenjak saya berada di bangku kelas 2 SMA. Begitu naik ke kelas 3, universitas tersebut semakin saya idamkan. Saya merasa tidak ingin ke universitas lain selain universitas itu, pokoknya lebay amat deh kepengenan saya waktu itu (Nah kan sekarang bahasanya mulai ngga begitu serius:p). Hari berganti, waktu terus berputar, silih berganti. Walau masih labil ketika tahuinformasi baru tentang jurusan atau universitas lain ujung-ujungnya hati saya berlabuh di univ yang sama, saya tetep ngotot pengen di situ dengan jurusan yang sudah saya idamkan dari SMP. Ortu setuju-setuju aja, yah walaupun dengan raut wajah yang kurang begitu yakin. Walhasil, di tahap seleksi SNMPTN yang pertama (Waktu itu bernama SNMPTN Undangan) saya memilih jurusan dan univ impian saya. Dengan keyakinan yang kuat serta doa di setiap sudut, akhirnya saya ditolak *eh hehe iya, saya ditolak di pilihan pertama. Begitupun di pilihan kedua, saya juga ditolak. Begitu sayah cek di blog dengan memasukkan nama lengkap dan nomor ujian, ada tulisan ,'Maaf, Anda.....' saya lupa apa kata-kata persisnya. Tapi intinya adalah hasil dari SNMPTN Undangan tersebut saya tidak diterima di mana-mana. Sedih?kecewa? Mayan sih, tapi karena ingat masih ada SNMPTN Tertulis, rasa sedih saya tak begitu menghantui. Dari situ muncullah semangat untuk belajar lagi, setelah lama sudah tidak ada kelas pasca UN. Tidak seperti teman-teman lain yang kebanyakan mereka mengikuti bimbel untuk persiapan tes SNMPTN, saya hanya membeli buku soal-soal SNMPTN dan belajar sendiri di rumah. Gampang? Enggaaa T_T soal-soalnya tak berperi kemanuisaan saya rasa. Tapi, saya tetap berusaha keras untuk membaca dan belajar di hari-hari sebelum ujian SNMPTN Tertulis. Kadang juga saya meminta teman-teman yang mengikuti bimbel untuk belajar bersama, sharing rumus, pengetahuan, dsb. Sampai tibalah saatnya tes dan pengumuman setelah beberapa hari menunggu. Ternyata, pengumumuman dimajukan satu hari. Semakin bertambahlah perasaan tak tenang, antara penasaran, takut, dag dig dug, harap-harap cemas, dan semacamnya. Begitu pukul 5 sore, rasa gelisah saya memuncak. ditemani ibu dan adik saya, saya mencoba membuka web resmi SNMPTN dan memasukkan nama serta nomor ujian. Enter.
Deg deg. Deg deg.
'Please, try again'.
Karena dikunjungi (mungkin) seluruh peserta ujian sehingga web yang saya kunjungi itu selalu sibuk. Enter. Please, try again. Enter. Please, try again. Begitu seterusnya. Perasaan sudah tidak karuan. Tangan dan kaki dingin. `Entah apa namanya, hati sudah seperti diaduk-aduk. Cemas, takut, penasaran, sebel, cukup emosi pula karena server selalu sibuk. Hingga adzan maghrib berkumandang, saya belum berhasil membuka akun saya itu. Akhirnya saya memutuskan untuk sholat terlebih dahulu. Seusai sholat, tetap ditemani oleh ibu dan adik saya, saya mencoba lagi. Tapi hasilnya sama, server tetap sibuk.
Setelah beberapa saat, saya mendapatkan SMS dari teman-teman saya yang mana mereka juga mengeluhkan hal yang sama. Beberapa kali mencoba hasilnya tetap sama. Sampai pada akhirnnya teman-teman saya satu per satu mengabarkan bahwa mereka sudah berhasil membuka akun mereka. Namun, dari SMS-SMS yang masuk, kebanyakan mereka berkata kurang beruntung. Hati ini terasa semakin diaduk. Tapi entah mengapa, saya tetap tidak bisa membuka akun saya sementara yang lain sudah. Kemudian saya memutuskan untuk pergi ke warnet terdekat karena barang kali memang jaringan modem saya kurang bagus. Tapi ternyata hasilnya tetap sama, serveer sibuk. Akhirnya teman saya menawarkan untuk membukakan akun saya. Saya memberi nomor dan password-nya. Abang saya pun demikian, menanyakan hasil pengumuman dan saya memberikan nomor beserta password-nya. Selang beberapa menit, teman saya mengirimkan SMS mengabari kalau saya diterima di pilihan kedua. Saya tak percaya. Kemudian abang saya pun berkata demikian di dalam SMS-nya. Pada akhirnya, saya bisa membuka sendiri akun saya. Dan alhamdulillah. Ternyata saya dinyatakan LOLOS walaupun hanya mendapat pilihan kedua. Perasaan lega, bahagia, sedikit kecewa, bangga, semuanya berkumpul menjadi satu. Ibu, kakak, adik, saudara sepupu yang pada saat itu hadir di sana bersorak 'Yeeee traktiran' membuat saya ikut bahagia juga. Walaupun ya tentu saja, ada rasa sedikit kecewa karena ternyata mungkin saya memang tidak berjodoh dengan kampus idaman saya. Untuk kedua kalinya saya ditolak universitas tersebut. Hufffft hahaha.
Saat ini, saat saya sedang menulis catatan ini saya persis akan memasuki semester 4 (ngga kerasa yah :3). Dua hari lagi semester 4 akan segera dimulai. Itu berarti hampir dua tahun sudah saya di kampus (tercinta) ini. Seperti yang dulu, SMA N 4 Cirebon adalah yang kedua namun setelah dijalani saya menikmati hiruk pikuk dan semua yang ada di dalamnya. Begitu pun di sini, saya tak pernah menyangka akan ada di sini. Bertemu dengan orang-orang yang saya sebut sebagai keluarga baru. Berkawan dengan orang-orang yang bersedia membantu kapanpun. Berpartner dengan teman yang luar biasa. Berada di kelas yang super unik. Ah...rasanya itu semua sudah lebih dari cukup untuk menjadi alasan bahwa Allah memang selalu mempunyai rencana terbaik. Tak hanya bertemu dengan orang-orang luar biasa, belum genap dua tahun di sini saja saya sudah mendapatkan pengalaman-pengalaman hidup yang memorable bingit. Bukan karena full of happiness tapi karena full of hard work dan hujatan haha semendramatisir itu kehidupan di kampus! Haha. Well, in the end, saya tidak menyesali semuanya. Selalu ada pelajaran di setiap apa-apa yang terjadi. I believe, there's always something to learn even in the darkness! Yup, saya percaya itu. Kau, yang kedua, aku mencintaimu! <3 mumumu :3 #SalamUnyuh