Rabu, 30 Desember 2015

Cerpen: Hujan Kemarin

Kuputuskan untuk mengambil langkah. Menerjang hujan yang sepertinya enggan membiarkan setiap sudut kota kering. Aku hanya menutup kepalaku dengan tas kulit kecilku. Ah, kalau bukan karena rapat penting itu, aku akan tetap duduk di kedai menikmati secangkir coklat panas dan kemudian kembali ke kantor terlambat dengan alasan tidak membawa payung. Baru beberapa langkah, aku merasa hujan tak lagi membasahiku. Aku mendongak ke atas. Payung? Sedetik kemudian aku melihat ke arah samping tanpa pikir panjang aku langsung memulai perbincangan, "Apa-apaan sih kamu? Nggak lucu tau nggak!" aku tetap berlari.

"Kamu ngomong apa sih? Aku cuma ngasih kamu payung." ia menjawab.

"Aku udah bilang aku nggak bisa."

"Nggak bisa apa? Aku cuma ngasih kamu payung, aku bilang."

Aku menahan langkahku, "Aku bilang aku nggak bisa..."

"Kamu tuh tinggal ambil payung ini apa susahnya sih?" ia memotong. "Aku nggak minta kamu buat apa pun. Aku cuma ngasih ini payung karena hujan dan kamu harus pergi rapat. Kamu mau rapat dengan keadaan kuyup? Apa yang kamu pikirin? Nggak bisa? Nggak bisa apa? Aku nggak minta jawaban. Kamu udah jawab aku dari dulu. Apa salahnya sih tinggal ambil doang?"

Aku mematung. Seperti biasa. Ia selalu baik kepadaku dan aku selalu menyia-nyiakannya. Ujungnya, aku selalu menyakitinya dan ia selalu berhasil membuatku merasa bersalah.

Aku hanya diam menatap, ia pun begitu. Ia sudah kuyup karena membiarkan payungnya berada di atas kepalaku. Aku berlari lagi mengejar sekian menit yang telah kuhabiskan berbincang sia-sia itu. Ia tetap mengikutiku. Aku hanya tetap berlari, tak menolak. Hingga akhirnya aku berkata lagi, "Cukup. Kamu tau aku nggak pernah baik sama kamu. Liat. Kamu yang punya payung, kamu yang basah. Kamu yang punya hati, kamu yang sakit. Udah cukup. Jangan ikuti aku lagi."

Ia berhenti, tanpa membalas perkataanku sepatah kata pun. Aku segera bergegas berlari. Sengaja aku memberhentikan dia di sini karena kantor sudah hanya sejengkal. Aku hanya tidak ingin mengucapkan terima kasih.
This entry was posted in

Minggu, 27 Desember 2015

Nyolo: Da Zonkest Day



Sudah lama saya dan ciwi-ciwi merencanakan untuk liburan, tapi semuanya berujung wacana. Padahal tinggal berangkatnya aja, beberapa jam bahkan menit sebelum keberangkatan, dibatalkan dengan alasan satu dan lain hal.

Destinasi kami yang alhamdulillah nggak jadi wacana ini adalah Solo. Sejujurnya, saya nggak mupeng-mupeng banget ke Solo karena pertama, saya udah pernah ke sana dan kedua karena menurut saya Solo mirip banget sama Jogja, letak alun-alun yang nggak jauh dari masjid raya serta sekompleks sama benteng, pusat kota, dan pasar, jadi saya nggak merasakan betul experiencing new things-nya. Emang sih, tipikal tata kota di Indonesia gitu: alun-alun, masjid raya, pusat kota, dan pusat perbelanjaan. Tapi, Jogja dan Solo ini mirip banget. Alun-alunnya, masjid rayanya yang masih tradisional banget, sampai ada bentengnya. Agak berbeda dengan Cilacap yang menurut saya malah lebih mirip Cirebon. Masjid rayanya bias dibilang lebih modern dan terlihat (mencoba) megah dan alun-alunnya yang kalau malem emang rame tapi nggak ada sewa mobil-mobilan berlampu warna-warni kaya yang ada di Jogja dan Solo itu (apa sih namanya? Haha).

Balik lagi ke cerita perjalanan Solo kali ini. Dari awal saya emang udah manut aja mau pergi ke mana. Di dalem Jogja hayuk, keluar hayuk. Yang penting jalan, nggak wacana. Akhirnya usulan pergi ke Solo diterima walaupun tetep nggak bisa full team. Anehnya, sampai hari H pun kami ngggak punya tujuan pasti mau ke mana aja, cuma menyebutkan ‘ini loh di Solo ada Keraton, Benteng Vasternburg, blablabla’ tanpa benar-benar menjadawalkan habis dari situ ke mana, naik apa, ngapain aja, dan berapa lama. Dan sekarang saya sangat mengiyakan para travel blogger  yang bilang betapa pentingnya punya itinerary dalam melakukan perjalanan. Kenapa? Karena kalau nggak, kamu bakal dapet ke-zonk-an di mana-mana.

Ke-zonk-an pertama adalah salah jadwal kereta. Emang salah mengandalkan jadwal kereta bukan dengan yang paling update. Walhasil, kami yang merencanakan keberangkatan pukul 10 pagi ternyata nggak ada, terpaksa harus nunggu keberangkatan pukul 11. Kami cukup luntang-lantung di Stasiun Lempuyangan udah kaya pengungsi bencana ngegelepor di lantai yang akhirnya saking nggak tau mau ngapain jadi lipenan berjamaah bertemakan red lips.
 
Tiket Prameks YK-Solo: Rp 8.000,-
Ngegelepor di Stasiun part I
Sampai di Stasiun Purwosari
Salah satu icon kota Solo



Karena tanggal merah, super long weekend, dan musim liburan, kereta pun penuh sesak dipenuhi harum semerbak, dan tidak menyisakan tempat duduk, ngegelepor kedua pun dilakukan di dalam kereta. Ke-zonk-an berikutnya adalah ketika kami menaiki Batik Solo Trans yang remnya mendadak blong. Udah lama-lama nunggu bus dateng di halte eh begitu dapet, baru jalan bentar, ternyata remnya blong. Kan gemesh. Walhasil ongkos bus Rp 4.500,- pun melayang. Jangan salah, di Jawa, 4.500 itu berharga. Sebenernya pas di halte, kami ditawari naik taksi menuju Keraton seharga Rp 30.000,- (masing-masing cuma bayar Rp 6.000,- karena kami berenam), tapi kami menolak. Dan penyesalan pun memang datangnya di akhir. Ketidakjelasan menunggu bus berikutnya yang nggak tau kapan datang dan bakal sesumpek apa akhirnya kami memutuskan untuk jalan ke Keraton. Berbekal pengalaman Sarah dan Eri yang katanya jalan cuma 15 menit tapi ternyata sampai di tempat tujuan setelah menempuh perjalanan 45 menit jalan kaki (dibarengi foto-foto sih).

 
SGM (Solo Grand Mall)
Jalan kaki dari SGM menuju Alun-alun
Found this while walking

Foto ala-ala The Beatles
Jalanan Kota Solo

Salah satu transportasi di Solo

Waktu yang kami punya pun makin sempit aja. Sampai di masjid pukul 2 siang dan sholat 15 menit setelah itu kami langsung ke Pasar Klewer (sementara) untuk makan. Hujan pun tiba dengan bulir-bulir yang cukup deras. Nunggu lagi. Makin ngaret. Sekitar pukul 3 sore, kami baru melangkahkan kaki menuju Keraton yang kemudian menemukan ke-zonk-an berikutnya: Keraton sudah tutup. Dengan berbekal secercah harapan, kami langsung mencoba pergi ke Benteng Vasternburg menggunakan GPS (Gunakan Penduduk Sekitar), tapi ternyata ke-zonk-an masih mengikuti kami: Benteng Vasternbug pun tutup. Saya nggak ngerti kenapa pada tutup, entah karena waktunya tutup atau karena libur atau bahkan karena mau didatengin para ciwi-ciwi rempong ini (?) Yang kami tahu adalah kami sudah gempor.

Pasar Klewer sementara pindah tempat karena yg asli sedang renovasi akibat kebakaran
 
Makan siang di Pasar Klewer
Suasana Pasar Klewer (sementara)

Keraton
 
Sudah tutup
Benteng Vasterburg yang juga tutup
Karena udah nggak tau mau ke mana, akhirnya kami memutuskan untuk balik ke Stasiun mengejar kereta keberangkatan pukul 5. Bener aja, there’s always blessing in disguise. Sopir taksi yang kami tumpangi kocak dan enak diajak ngobrol. Kayanya betah-betah aja sebenernya kalo musti naik mobil dengan sopir gokil kaya gini. Namun, ke-zonk-an masih berpihak bersama kami rupanya: salah stasiun. Kami cuma bilang ke Pak Sopir, ‘Pak ke Stasiun.’ Tanpa embel-embel Stasiun mana. Baru sadar ketika Bapaknya bilang, ‘Stasiun Balapan, kan?’ Lah! Sampai akhirnya salah satu dari kami bilang, ‘Yaudah gapapa, sama aja tho?’ yang kemudian disahut oleh teman yang lain, ‘Tapi kalo di Stasiun Balapan nggak ada tempat tongkrongan kalo ternyata kita nggak dapet yang jam 5.’ Dari perdebatan singkat itu, kami tetap jalan menuju Stasiun Balapan dengan harapan masih bisa dapet tiket keberangkatan pukul 5.

Sebenernya, nggak masalah banget kami mau berangkat dari Stasiun Balapan atau Stasiun Purwosari. Yang jadi masalah adalah tiket keberangkatan pukul 5 sudah habis. Itulah ke-zonk-an kami berikutnya. Jadwal keberangkatan kereta Prameks berikutnya adalah pukul 19.45 sementara kami sampai di Stasiun Balapan sekitar pukul 4.30 sore, itung sendiri kami harus nunggu berapa jam. Karena lokasi Stasiun Balapan bukan di pusat kota, jadi aja nggak ada tempat buat nongkrong-nongkrong yang nggak ngebosenin. Walhasil, kami memutuskan untuk membeli tiket di Stasiun Balapan dan berangkat dari Stasiun Purwosari. Karena keadaan nggak memungkinkan kami untuk jalan lama (lagi), kami mencarilah taksi untuk cus ke Stasiun Purwosari. Tapi tipikal taksi yang mangkal di Stasiun, nggak mau banget ditawar murah. Akhirnya kami jalan (lagi) menjauh dari daerah Stasiun untuk dapet taksi murah yaitu hanya Rp 30.000,-. Nggak tau kenapa blessing in disguise-nya ini ada di sopir taksi lagi. Sama kaya sopir taksi yang pertama, sopir taksi kali ini juga gokil. Ketawa-ketiwi mengisi perjalanan kami dari Stasiun Balapan menuju Solo Square yang letaknya nggak jauh sama Stasiun Purwosari.

Ngegelepor di Stasiun part II
Solo Square

Cute corner

Sementara menunggu waktu keberangkatan kereta, kami makan di Foodcourt dan muter-muterin Solo Square. Segera setelahnya, kami jalan kaki menuju Stasiun Purwosari dengan tepat waktu yang alhamdulillah-nya dapet tempat duduk. Kereta pun berangkat. Kami pikir ke-zonk-an sudah berakhir sampai pada akhirnya saya bilang ke Aya, ‘Ay, keretanya jalan lembut banget ya.’ Aya langsung sadar, ‘Loh ini kereta jalan nggak sih? Enggak, tauk! Itu lampunya diem aja.’ Iya, kereta berhenti. Sepertinya kereta udah berhenti lebih dari 15 menit dan nggak tau kenapa, macet kah, mogok, atau kenapa, yang pasti itu bukan berhenti di stasiun. Hmm. Yang harusnya kereta sampai Jogja pukul 9 (malam) kurang, ternyata kami sampai Stasiun Lempuyangan sekitar 9.30 malam.

Dapet kursi semua :')

Stasiun Purwosari malam hari
Dari seluruh ke-zonk-an yang kami dapatkan di hari itu, kami tetap merasa senang dan bahagia. Bener sih kalau ada yang bilang, ‘It is not about where you are nor what you are doing, but rather it is about who you are with.’ Mau ke mana pun pergi, segimana zonk-nya perjalanan yang kita punya, kalau kita bersama orang-orang yang menyenangkan, semua akan terasa indah.

P.S. make sure you have a clear itinerary with super clear details whenever you want to go traveling. You don’t want to have such zonk voyage, right?
This entry was posted in

Minggu, 20 Desember 2015

Experiencing KKN

Basi banget aja sih sebenernya kalau saya baru nulis tentang KKN sekarang. But, here we go!

KKN. Identik dengan berbagai kepanjangan, dari  Kuliah Kerja Ndolan, Kisah Kasih Nyata, Kuliah Kok Nikung, sampe berbagai kepanjangan absurd lain. Kalau saya, bakal menamai KKN ini dengan Kuliah Kerja Nyenengin.

Koripan I

Tipikal rumah di Koripan I
Posko tampak samping
 
Ruang tamu Posko

Ruang tengah Posko



Pos Kamling RT 5&6 - A favorite place to go


Sebenernya dari sebelum berangkat KKN saya udah niat mau nulis tentang KKN-an dengan maksud berbagi cerita aja siapa tau ada yang butuh informasi khususnya untuk adik-adik angkatan. Tapi entah kenapa baru 'sempet' nulisin sekarang, yang mana nggak tau masih berguna atau nggak. Yaudah gapapa, saya mau nostalgia aja wkwk. Ada banyak isu kurang mengenakan dari sebelum pemberangkatan. Dipalak wargalah, nggak ada airlah, dan serentetan isu menakutkan lainnya yang saya lupa apa aja saking uda lamanya. Di saat temen-temen saya pada males untuk berangkat KKN, saya waktu itu merasa excited karena saat itu adalah sat-saat berkabung buat saya. Saya merasa harus punya kegiatan biar pikiran saya nggak kosong. Dan KKN ini sukses mengembalikan senyum saya. Eaak.


Pada dasarnya, saya emang suka kegiatan sosial. Sebelumnya, saya juga pernah tergabung dalam program FBS Mengajar-nya BEM FBS 2013. Dengan waktu yang sama, sekitar sebulanan, saya dan teman-teman 'mengabdi di masyarakat' untuk mengajar anak-anak di Pleret, Bantul. Capek sih, tapi nagih. Ada secercah kebahagiaan tersendiri ketika bisa membantu, berbagi ilmu, dan melihat anak-anak tersenyum. Karena pengalaman inilah, saya jadi gabung di CAC (Coin A Chance) Jogja yang concern untuk membantu anak-anak kurang mampu untuk tetap bisa bersekolah. It's precious moment bangetlah ketika melihat orang tua dan anak tersenyum begitu kita dateng menginformasikan mau memberi beasiswa sekolah :')

FBS Mengajar BEM FBS 2013 Kabinet SEDULUR

Setiap orang punya sudut pandang dan pengalaman yang berbeda. Kalau menurut saya pribadi, KKN ini merupakan miniatur kita dalam berinteraksi dengan masyarakat. Tinggal langsung di tengah-tengah warga memberi pengalaman yang cukup untuk melihat secara langsung bagaimana hidup dan terjun langsung di masyarakat (Yaelah kebanyakan ngomong langsung). Kami merasakan langsung bagaimana warga menanggapi kehadiran kami baik mengenakkan maupun kurang mengenakkan. Contohnya, di hari kedua kami tinggal, kami mendapat kritikan dari seorang warga tentang sifat kami yang tidak se-srawung dari kelompok sebelumnya (karena ada 2 shift). Baru dua hari cyin, ibaratnya masih jet lag, baru bebenah, udah nge-judge gitu, ngalah-ngalahin psikolog. Hebat syekaleee. Tapi overall, warganya super ramah dan baik. Saya juga nggak ngerti, ini kami orang asing tapi diperlakukan seolah-olah seperti  saudara mereka yang baru dateng dari jauh. Jadi untuk adik-adik UNY yang mau KKN, saya menganjurkan banget untuk ikut KKN shift khusus daripada mandiri. Merasakan tinggal di tengah-tengah masyarakat desa-nya itu loh, precious banget.

Ngapain aja selama KKN? Banyak! Banyak tidur maksudnya. Haha. Well, KKN ini mengharuskan setiap kelompok untuk mempunyai proker kelompok dan individu. Terserah mau apa aja, yang penting bermanfaat dan melibatkan warga dalam menjalankan proker itu karena kalau cuma ngerjain sendiri, apa gunanya dong tinggal di situ? Numpang tidur doang? Intinya, libatkanlah warga baik untuk proker kelompok maupun individu dan karena warga lebih suka yang praktis, pilihlah proker yang aplikatif, nggak melulu teori.

Hal yang paling favorit buat saya adalah.....anak-anak! Walaupun mereka emang kadang nyebelin banget, nakal, terlalu jujur (suka bikin nyesek kan kalo terlalu jujur? -_-), dan super nyapein karena banyak maunya, tapi di waktu yang sama mereka juga mood booster dan emang yang paling deket dengan kami. Gimana enggak? Setiap hari dateng ke posko entah buat ngerecokin rumah atau mengeksploitasi batre HP buat nge-game. Fiuh. Tapi nggak dapet dipungkiri sih, betapa membahagiakannya melihat antusias mereka begitu kami dateng, betapa ikut kecewa juga melihat kecewanya mereka ketika mereka tau kami nggak bisa nemenin mereka. Rasa capek udah ilang aja rasanya. Diajak main gobak sodor, diajak jalan-jalan ke sawah, ke gunung lupa namanya, ke beton, dan sejumlah hal membahagiakan lainnya merupakan pengalaman yang paling memorable.


We all had fun


Kids on the kindergarten


Favorite boys

Another cutie

Karnaval 17-an

Awarding the winners of Lomba Mewarnai

Usai senam

Witness that sleeping kid? He's so naughty but super cute at the same time!

PKK rutin
Lomba tarik tambang

Malam tirakatan

Saya merasa beruntung, saya dapet tempat yang serba lebih dari cukup banget. Dari Pak Dukuhnya, warganya, anak-anaknya, sampe rumah yang kami tinggali. Semuanya lebih dari cukup. Dan saya merasa lebih beruntung lagi karena saya punya tim yang loveable :') Kami punya starting point yang sama di mana sebelumnya masing-masing dari kami belum saling mengenal. Jadi, rasa-rasanya adil aja sih. Tinggal sebulan dan serumah bareng kayanya lebih dari cukup untuk mengenal satu sama lain. Kekurangan dan kelebihan bukan lagi hal yang bisa untuk ditup-tutupi. Semuanya kebongkar aja gitu, mana yang ngentutan, ngupilan, ngorokan, sampe tau mana yang ibu-able (si ibu Zaen) dan bapak-able (si Davit) haha. Dibanding kelompok lain, kelompok saya termasuk kelompok yang jarang dolan pas KKN-an. Kami kebanyakan main UNO, ngejedog (?) dan tidur di posko. Tapi paska KKN, di saat kelompok lain udah pada bubar, kami masih dolan bareng walaupun sekarang intensitasnya udah berkurang (yang sudah saya duga dari awal wk). Saya tipikal orang yang nggak mau ngilang gitu aja ketika saya sudah nyaman di suatu tempat, maka dari itu saya berusaha untuk tetep keep in touch sama mereka dengan cara ngomen -ngomen PM di BBM mereka haha maapin. Dari yang deket, pasti ada yang lebih deket, ya kan? Kalau Dina suka curhat-curhatan sama Anip, saya juga punya teman curhat: Arum. Kami berdua bahkan masih sering jalan bareng sampai sekarang. Setiap pergi sama Arum, kayanya adaaaa aja hal kocaknya yang habis itu kami menertawakan kebodohan kami sendiri haha. Orang yang juga agak sering dengerin my pointless drama adalah Irham. Dia juga yang nyemangatin di saat saya down dan butuh temen. Kan terharu wkwk. Orang yang sering saya repotin lainnya adalah Imam alias tukang gojek yang mau aja nganterin wk. Anu, di Jogja udah ada gojek, nggak sekalian daftar aja, Mam? Dan segala kebaikan masing-masing orang di kelompok KKN 1065 yang nggak bisa saya sebutin satu-satu. Each of you guys is so unforgettable kok. Satu hal yang pengen saya bilang: don't forget each other ya, we once had really good time together. (Jangan lupain satu sama lain ya, kita pernah punya waktu indah bareng).

Those names
Menonton perlombaan 17-an

Smiling face during massage


Doing our work


Ibu dan Bapak :'D

Night walk

idk
Morning walk

Our only one dolan

Experiencing KKN buat saya adalah salah satu pengalaman yang paling mengesankan di masa kuliah. Nggak cuma dapet kenangan dan pengalaman, tapi juga pelajaran bagaimana beradaptasi, memanaj konflik, serta dealing with new people and society which is more precious than any other things. Karena catetan ini sudah cukup panjang dan jadi bikin males baca mending saya sudahi saja. Maaf udah bikin sakit mata karena kebanyakan nyampurin bahasa Inggris. Da saya mah emang anaknya sok Inggris, gimana enggak? Tiap hari makanannya bahasa Inggris mulu, gimana nggak terpengaruh ya kan. Semoga catetan yang niatnya berbagi tapi jadi nostalgia ini bisa bermanfaat untuk adik-adik yang butuh sedikit pengetahuan tentang pengalaman KKN, atau kalau nggak bermanfaat ya semoga seenggaknya tulisan ini menghibur (?). Menghibur dan jadi bernostalgia bagi kalian yang sudah pernah KKN ;)