Jumat, 23 Desember 2016

December


It feels like years I didn't write any posts here for these past months. I always thought that I had no time doing this while it's actually a matter of making it or not. Until I realize that it's already December! The last month we have in one year. Time to throw it back.



There are many things to learn, many people I met, many great experiences I got, and by then I have so much to reflect from them. I can feel the endless love of my family through their prayers. I can see the friends that have been so supportive to me in this year. Aya for being a friend that I can talk literally everything, Geri for being  there when I need her, Sarah that has the same humor as mine and is a good listener for each drama I told her, Fulan who's been a partner in struggling both academic and the organization we join,  and of course each member of them that we have a group chat called 'Nyinyirism" who's been being supportive and lovely and funny as hell and sarcastic af, and still philosophical (?). Like seriously, I have no idea how my Jogja-life would be without them. For the friends of Sansenku that still have a place to me even when I've been far away from them to which then I feel home when I'm back. Fikfik who's been annoying haha yet soooo nice. My temen SD, Iin and Ayu, who can reduce miseries lol by doing 'our things'. My temen SMA, Inayah, Bolo-bolo, Nora, and Bitul who have been moodboosters when I'm home. Grup Gak Jelas Kabeh contaning Unonk, Rendra, and Sarah (lagi) yang mau aja diajak kemana-mana. My temen KKN, Arum for being really good, Irham and Imam for being friends of bersenang-senang. Meng for being a friend full of wacana haha yet still pleasing to talk to. Mba Dara and Rani that I always enjoy to have time together. Also, all the beutiful souls I met on my road. And of course, Rampoe UGM for allowing me to find anything wider and greater. Ah I have a bunch of love for each of them :')

"Nyinyirism"

Some of Sansenku

Meng

I thank God for every single thing I've got though sometimes things are out of control like I haven't graduated yet lol (only by this time I can laugh it away lol), I haven't found that one person I can lean on and feel completed LOL tetep ya, reading an an amount of books, writing more on the blog, and other things I wish to gain in this year.

My 2016 was much dominated by working hard, struggling, and even suffering with these people.

That team :')

Started by earlier this year, we began our journey. Nothing was easy, but who knows that God would give this team a huge blessing during the process. And so, I personally gain a lot to learn. Like A-LOT. It felt so consuming at the beginning, but since we walked together hand in hand, it became one of (maybe) our memorable moments in our life at the end of the day. Maybe by next time I will write the clearer details on how we had suffered struggled. Lol.


Strongest girls

That was a glimpse of what comes to my mind summing up my 2016. I'm that conservative person who writes my resolution by the end of the year for the upcoming year. And now I will do the same. I think, somehow, it can remind me to keep moving forward, to not giving them up while in the middle of struggling.

I'm so glad to have had those experiences, to have been surrounded by the people I've mentioned, to have met nice strangers, and to have learned so much from them. Also, I'm so glad to have ticked most of things in my to do list for this year though there are still several things I let them clear without any ticks. I'm a believer of 'God Timing is always the best', even when I don't get the things I want. I tried my best, but God knows best. And somehow that is what makes me relieved.

Time flies so fast. It keeps lingering no matter how much we try to stop it. There's no way back, there's nothing to escape. New year is coming. Feel the enthusiasm to welcome it then keep it stay in our souls during the whole year.




Kamis, 11 Agustus 2016

Pernikahan Dini

Seiring dengan tayangnya kembali sinetron Pernikahan Dini, entah kenapa bisa kebetulan juga lagi in mengenai pernikahan Alvin, anaknya Ustadz Arifin Ilham, yang mana dia masih di bawah umur menurut Undang-undang. Berita ini cukup menuai pro dan kontra. Apa penyebabnya? Tidak lain tidak bukan karena umur itu sendiri sih. Saya sendiri berpendapat kalau tidak ada yang salah dari menikah muda. Setiap orang berhak untuk memutuskan kapan dan di umur berapa mereka menikah. Namun, menurut saya, menikah bukanlah suatu hal yang bisa tidak kita pikirkan matang-matang karena ada banyak konsekuensi yang akan diambil ketika kita sudah tidak hidup ‘seorang diri’.

Saya memang tidak mengikuti berita pernikahan Alvin ini dari awal. Kebetulan pas saya nonton Alvin diwawancara, dia mengatakan sangat menyayangkan seks bebas yang terjadi di kalangan remaja. Daripada zinah, mending langsung nikah saja bisa jadi ibadah. Ya, saya memang dengar alasannya setengah-setengah gitu sih. Jadi kalau ada kesalahan dari opini saya, ya itu datangnya dari saya pribadi bukan siapa-siapa.
Pokok ‘permasalahan’ dari pernikahan dini adalah umur. Mungkin kalau pernikahan kakaknya dini mah boleh kali ya karena lebih tua dari dini huhu jayus. Menurut undang-undang, laki-laki boleh menikah ketika sudah berumur 19 tahun dan perempuan 16 tahun. CMIIW. Pada umumnya, seseorang akan lulus SMA pada umur 17 tahun, maka di umur 19 tahun diharapkan seseorang setidaknya mempunyai penghasilan jika ia memutuskan untuk tidak melanjutkan studi. Saya rasa, undang-undang menetapkan umur untuk pernikahan bukanlah tanpa pertimbangan. Itu pun semata-mata sebagai upaya ‘mensejahterakan’ penduduknya. Diputuskannya umur tertentu adalah mungkin salah satu upaya pemerintah untuk memastikan bahwa penduduknya sudah cukup siap finansial untuk melakukan pernikahan.

Yup, hal pokok selanjutnya adalah finansial. Seseorang yang sudah menikah, rasa-rasanya janggal jika masih bertumpu pada orang tuanya. Suka atau tidak, menikah itu butuh uang. Untuk menghidupi kita sendiri, pasangan, dan anak-anak kelak. Baik untuk memenuhi kebutuhan pokok seperti makan, tempat tinggal, dan pakaian maupun kebutuhan sekunder seperti pendidikan, hiburan, dan lain sebagainya. Se-belia apa pun umur kita, mau tidak mau kita harus siap untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan tersebut.

Selain itu, di umur yang masih belia, sudahkah cukup siap untuk selanjutnya menghadapi persoalan-persoalan hidup yang bukan lagi hanya mengenai kepentingan pribadi? Saya sangat setuju dengan pernyataan “Kedewasaan tidak bisa ditentukan dari umur”, tapi juga sepanjang saya hidup 22 tahun di dunia ini, saya menemukan bahwa umur juga tidak bisa dibohongi. Saya punya teman sebaya, tapi dia bisa sangat bijak dan dewasa lebih dari saya. Namun, umur tetaplah berbicara. Ada kalanya ia terlihat manja dan masih ‘kanak-kanak’. Dan sekanak-kanaknya seseorang, kalau dia sudah cukup berumur, dia akan ada kalanya bertindak dewasa. I hope you get my point.

Lagi-lagi menurut saya, menikah bukanlah hal tanpa konsekuensi. Kita tak lagi bisa memikirkan diri kita sendiri, ada pasangan yang juga harus kita pikirkan. Mau tidak mau, kita pun akan sedikit banyak berkorban atas apa yang akan kita putuskan. Yang mana, sadar atau tidak, kita akan sedikit banyak mengorbankan satu dan lain hal. Sekolah misalnya. Memang, kita masih bisa tetap bisa mengambil S1, S2, dan seterusnya, tapi tentu saja pasangan dan anak adalah sudah menjadi prioritas utama kita. Menikah juga bukan hanya urusan individu yang ingin menikah. Ada keluarga dari masing-masing pihak yang perlu kita hadapi yang mana kadang itu juga tidak sesederhana yang kita pikirkan.

Tidak ada yang salah dari menikah muda jika sudah siap dengan segala konsekuensinya. Tapi saya pun cukup menyayangkan kalau alasan menikah hanyalah untuk mencegah zinah. Menurut saya yang ilmu agamanya tidak lebih besar dari ukuran semut, rasa-rasanya masih banyak ibadah yang bisa mencegah dari perbuatan zinah. Contoh yang paling esensial adalah sholat. Kalau kita memahami seluruh isi bacaan sholat bukan hanya sekedar untuk menggugurkan kewajiban, saya rasa, kita akan merasa menjadi sebenar-benarnya budak Allah dan mengabdi seluruh jiwa raga kita kepada Allah yang mana jelas, kita akan berusaha melakukan segala perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya termasuk zinah. Hal selanjutnya yang bisa kita lakukan adalah dzikir. Dengan dzikir, kita jadi mengingat Allah. Jika Allah sudah memenuhi hati dan pikiran kita, kita akan selalu merasa Allah melihat kita kapan dan di mana pun ya masa mau zinah kan? Atau, kita bisa melakukan ibadah lain yang memang tujuannya untuk mengendalikan nafsu kita: puasa. Jangankan untuk memenuhi nafsu birahi, buat makan minum aja nggak boleh kan kalau kita lagi puasa? Dan yang terakhir, yang paling ‘ngena’ menurut saya: ingat mati. Udahlah, kalau ingat mati mah mau kita lagi jungkir balik ngakak kaya apa pun juga langsung bisa kicep. Kalau kita ingat mati, boro-boro mikirin gegalauan apalagi zinah nggak sih? Yang ada kita langsung merinding dan bawaannya pengen taubat aja berharap jiwa kita bersih dari segala dosa yang padahal kalau denger adzan aja masih mager buat cepet-cepet sholat huhu. Intinya, banyak ibadah lain yang bisa kita lakukan kalau hanya untuk mencegah zinah. Ingat loh ya, ‘kalau hanya’. Tapi jika ternyata keinginan menikah lebih dari itu, ya silakan boleh banget banget. Apalagi jika semua rukun nikah sudah terpenuhi, punya penghasilan cukup, dan siap akan segala konsekuensi minimal yang saya sebutkan di atas, mau berapa pun umurnya, ya sah-sah saja. Dan mungkin itu lah yang terjadi pada Alvin. Dia sudah sesiap itu. Saya juga aslinya pengen nikah muda kok, cuman kan ada beberapa rukun nikah yang harus terpenuhi. Yang pertama, mempelai wanita. Yang kedua, mempelai pria. Nah, baru syarat kedua aja saya masih belum mampu, jadi yaudah, gagal mau nikah muda hahahaha cry. Gak ding, canda.

Di benak saya, menikah adalah ibadah yang bukan hanya untuk mencegah zinah. Butuh kesiapan lahir dan batin untuk mengarungi tingkat kehidupan yang lebih ‘dewasa’ ini. Namun, saya bukanlah ukhti-ukhti sholehah yang ilmu agamanya udah tinggi. Bahkan kalau dosa bisa kecium, mungkin dosa saya udah kecium sekali pun kamu lagi di Afrika karena saking banyaknya dosa saya huhu. Opini ini datangnya dari manusia biasa yang masih haus akan ilmu fiqih dan pemahaman aqidah. Kalau pun tidak sesuai, ya mohon dimaklumi dan diingatkan. Lagian, ini mah cuma pencitraan aja ding.

Rabu, 13 Juli 2016

Jogja at a Glance

Courtesy: jogjangangeni.com

Nggak pernah terpikirkan untuk saya bisa tinggal di Kota Pelajar ini. Karena dulu emang nggak begitu berambisi buat milih satu kota tertentu untuk ditinggali selama kuliah. Dan karena 'kebetulan' universitas idaman saya nggak berada di Jogja, jadi aja saya nggak naksir-naksir amat dengan kota sejuta Gudeg ini. Long story short, saya random aja gitu memilih UNY sebagai pilihan kedua saya dalam SNMPTN. Dan yup! Pilihan pertama saya menolak saya hingga saya bisa berada di sini. It's almost been 4 years!! 

Kesan pertama ketika menginjakkan kaki di Jogja setelah bertahun-tahun nggak ke sini adalah medhok. Dulu saya selalu menganggap bahasa Cirebon adalah bahasa Jawa. Orang-orang Cirebon pun akan prefer menyebut bahasa Jawa untuk merujuk ke bahasa Cirebon. Padahal ketika pertama saya dengar orang-orang ngobrol pakai bahasa Jawa, saya benar-benar roaming dan in complete confusion. Dan lebih bingung lagi, ketika saya kenalan sama orang, dia mengira kalau Cirebon itu ngapak. I was like, "What?!"  Ngapak itu apa aja saya nggak tau. Hufff. Tapi kemudian, saya benar-benar salut sama penduduk lokal karena mereka sangat mempertahankan bahasa ibu mereka. Dari anak kecil, anak muda,  ibu-ibu, bapak-bapak, sampai embah-embah dan dari tukang becak, pelajar, mahasiswa, sampai pengusaha dan pejabat, mereka semua nggak ragu untuk berkomunikasi dengan bahasa Jawa di mana pun mereka berada. Bahkan teman kuliah saya pernah mengatakan kalau dia bangga menjadi orang Jawa dan berbahasa Jawa. And I super really totally apreciate that. Karena entah kenapa di Cirebon, para anak muda dan agabon-ers (anak gaul Cirebon) akan merasa malu untuk berbahasa Cirebon. It's really sad, right? And I'm like, "If you think that using Cirebonese is hick, you'd better go to Jawa or probably Bandung to see how proud the local people are using their own mother tounge. And if you still think it's hick, you should go and f**k yourself. Seriously!"  Haha.

Selain kental dengan bahasa Jawanya. Jogja pun terkenal dengan keramah-tamahannya. Dulu saya sempat kaget begitu saya beli sesuatu dan penjualnya bilang, "Bawa aja dulu, Mba, nggak ada kembaliannya. Mbanya ninggal di sini." What?! Saya itu orang asing lho, kok ya bisa langsung percaya gitu aja. Kalau saya lupa atau bahkan nggak mau bayar sekalian gimana? Rasa-rasanya kalau di Cirebon, si penjual akan mencarikan kembalian sekalipun harus menukar ke mana dulu, ya kecuali kalau sama orang yang udah dikenal.

Sejauh saya punya teman-teman yang orang Jogja, mereka lebih nggak konsumtif, sederhana, dan bersahaja eaak. Dari cara berpakaian sampai gaya hidup, mereka nggak terlalu ngoyo untuk mengikuti tren yang lagi hits. Ya walaupun tetep aja ada yang mencoba hits, tapi kalau dari yang saya liat, kebanyakan mereka nggak terlalu konsumtif sama kemodernan. Ini bisa jadi rem banget buat saya yang bergaul juga sama orang-orang Jawa Barat yang cenderung sangat mengikuti tren dan lebih konsumtif. Hmm.

Hal penting lainnya adalah makanan khas.  Udah pasti dong ya semua orang tau kalau Jogja terkenal dengan Gudegnya. Tapi sampai saat ini, saya nggak doyan sama Gudeg. Bahkan Gudeg adalah salah satu makanan yang saya hindari. Saya keburu nolak duluan kalau diajak makan Gudeg. Haha. Sebenernya, saya pernah nyoba sih beli Gudeg, dan lumayan. Lumayan nggak doyan maksudnya haha nggak deng. Tapi saya keburu parno duluan sama tingkat kemanisan lauk yang dicampur nasi. Karena di sini, masak sayur dan lauk itu wajib hukumnya pakai gula dengan takaran yang menurut saya banyak. Waktu itu saya pernah main ke rumah seorang teman di Bantul yang kemudian saya disuguhi sop. Saya langsung aja tuh kan ngasih air sop banyak ke mangkuk nasi saya, eh begitu saya makan, gila manis banget! Itu sop udah kaya kuah es campur aja deh. Sampai akhirnya saya jadi nggak nafsu buat ngehabisin padahal lagi laper haha. Tapi btw, saya prefer banget ke Angkringan. Nggak ke Jogja kalo nggak ke Angkringan. Suasana lesehan di pinggir jalan malem-malemnya itu loh yang kerasa njogja banget. Murah meriah lagi. Uuuw.

Menurut saya, Jogja itu paket komplit. Saya bisa sok-sokan hedon nongkrong di Mall dan bisa juga sok-sokan jadi anak bolang yang menjelajah tempat-tempat alam yang nggak ada habisnya. Dari pantai pasir hitam, pasir putih, air terjun, gumuk pasir yang katanya cuma ada di dua tempat di dunia (?), goa, gunung, sawah, hutan, you name it lah, ibaratnya, apa sih yang nggak ada? Yang nggak ada, aku di hatimu sih. Pergi ke tempat-tempat itu bisa jadi penyegaran buat otak banget di sela-sela pusingnya kuliah dan ruwetnya berurusan sama tanggungan yang kadang bikin super gemaz pengen makan tahu bulat (?). Dan yang paling penting, masih tetap ekonomis buat kantong mahasiswa haha. Paling untuk uang bensin dan uang tiket masuk yang masih masuk akal. Tapi btw, pertumbuhan mall di Jogja cukup pesat juga. Dulu awal ke sini, saya nggak menemukan banyak mall. Malahan, Cirebon lebih punya banyak mall daripada Jogja. Tapi sekarang, mall udah kaya jamur di musim hujan. Langsung banyak bermunculan aja gitu. Tempat-tempat gaul dan hits pun mulai amat banyak bermunculan. Tapi eksistensi Burjo masih pada level tertinggi kok buat mahasiswa dan anak kos. Jadi ya tinggal pilih, mau nongkrong-nongkrong unyu di tempat hits, hedon di mall, sok-sokan jadi anak my trip my adventure, atau nongkrong merakyat di Burjo haha.

Dan terakhir, yang paling iconic banget dari Jogja adalah Malioboro. Ya siapa sih yang ke Jogja tapi nggak ada itinerary untuk datang ke Malioboro? Dulu, jaman SD pas baru pertama kali mau ke Malioboro, saya pikir Malioboro itu tempat apa, eh ternyata cuma tempat belanja doang wkwk. Tapi, setelah udah lama di sini, baru kerasa tuh kalau suasana jalanan Malioboro nggak ada duanya. Bau khas dari delman, suara angklung Banyumas-an, dan keramaian para turis domestik dan mancanegara udah jadi khas Malioboro banget. Dan saya nggak menemukan tempat sesyahdu Malioboro yang bikin saya seketika jadi recall all  memories yang saya lalui di Jogja eaak.

Saya rasa, Jogja nggak akan mungkin menyandang titel 'Kota Pelajar' kalau kotanya nggak ramah buat para pendatang khususnya pelajar dan mahasiswa. Sampai saat ini, ada banyak universitas dan para pendatang dari berbagai kota di seluruh Indonesia bahkan luar negeri. Yang mana itu menunjukkan kalau Jogja emang kota yang worth living. Makanya saya nggak ngerti ketika kemarin sempat heboh berita tentang mahasiswa S2 UGM yang menjelek-jelekkan warga Jogja di POM bensin itu. Selama isu itu berlangsung, banyak mahasiswa, dan bahkan hampir semua, kontra dengan Mba berinisial F itu. Jadi mungkin, Mbanya aja kali yang musti berkaca diri wkwk no offense sih.

Walaupun Jogja bukan kota yang saya idamkan dari awal, I ended up feeling so grateful to get the chance living here! Jogja udah jadi kota yang sangat nyaman untuk ditinggali sekaligus jadi gerbang awal saya buat mendapat pengalaman yang udah nggak keitung jumlahnya. Saya bisa jamin sih, nggak akan ada orang yang pernah tinggal di Jogja yang nggak mau balik lagi ke Jogja.

Senin, 04 Juli 2016

Dealing with My Thesis



Things are sometimes really annoying when people start questioning something you should have accomplished like, "Kapan ujian?" or "Kapan lulus?" or "Kapan wisuda?". And it somehow frustrates me like what you guys are saying? You just don't walk my path and don't wear my shoes and don't understand the things I'm facing. Say it that it is an excuse, but really, you have to be me, I mean, be an English Literature in this shitty campus haha, with this situation and the supervisor like mine then I bet you wouldn't ask any single questions I've mentioned above. Like never ever ever. You may blame me why I haven't taken my final exam while my friends one by one have graduated, but I'll let you know that I've been doing my best to finish my thesis, yet, some things are just out of control that I myself really don't want this to happen.

It's not only you. I, too, question myself why this thing happens to me like what sins I have done that drive me into this jail haha. I just can't believe that sometimes life might get harder while we grow older. And it's happening in front of my eyes. It's not only my thesis, but also my other duties seemingly have been really consuming. And sometimes all I want to do is scream out loud without even caring how people would get annoyed by my noise.

It practically stresses me out. Yet, there's a glimpse of pleasure in realizing how blessed I am by having these consuming stuffs haha. Throughout the moments, God has proved me that life is a completely learning process. How I should deal with things I might think bad and how He has sent me the supportive people I couldn't ask for any better. Call me a pessimist, but I won't be any if my (particular) friends beside me. They never stop sending me support and tell me everything is okay if I don't think too much about what people are gonna say. And I'm forever grateful for that.

After all, I come at the point when I realize that one's life is never better than others. It's simply a matter of understanding how to appreciate our own life without comparing to others'; for each of us simply walks our own path. It's ok to be sad, but don't linger for so long. In a sense, life is just a completely learning process of how bad things happen to us as well as the good ones. Happiness is not what it is without feeling miserable at least once in a lifetime like we can never see the stars without darkness.

Cheer the days \m/

Minggu, 26 Juni 2016

"Maaf, Kamu terlalu Baik buat Aku"


Pernah nggak sih ada seseorang bilang ke kamu: "Maaf, kamu terlalu baik buat aku"? Yang mana seseorang itu adalah orang yang kamu taksir. Ciye. Kalau saya sih nggak pernah. Yang ada, malah saya yang bilang hahaha. Gak deng.

Well, beberapa teman saya pernah mengalaminya, baik cowok maupun cewek. Dan sedihnya, salah satu dari mereka mengatakan, "Jadi orang jangan baik baik amat, entar dibilang terlalu baik soalnya." dan dia jadi suka semena-mena dan super cuek haha ngeselin.

Seketika waktu itu saya jadi mikir, kalau gitu orang yang udah bilang "kamu terlalu baik buat aku" bisa membatasi orang untuk berbuat baik dong? Padahal seperti yang kita semua tau, kalimat itu hanyalah kata lain dari menolak, iya nggak sih?

Saya rasa, kita nggak perlu lah sampai membatasi diri untuk nggak jadi berbuat baik cuma gara-gara kita takut dibilang "terlalu baik". Lagipula, toh yang bilang "terlalu baik" itu dia hanya mencari-cari alasan buat menolak kan? Bukan untuk merasa tidak pantas dengan kita. Justru, orang kaya gitu yang nggak pantas diperjuangkan haha. Kita mau jadi orang baik kok malah tidak diterima dengan baik. Maka dari itu, menurut saya, jangan sampai lantas kita menolak untuk tetap berbuat baik kepada siapa pun. Karena toh bukannya harusnya kita berproses bareng-bareng? Menerima segala kekurangan dan kelebihan. Kalau dia sudah merasa "terganggu" karena sifat "terlalu baik" kita, dia mau jadi kita seperti apa? Yang jahat? Yang tidak peduli? Atau seperti apa? Mau tidak mengizinkan kita untuk menjadi orang yang baik?

Apa yang ingin saya katakan adalah jangan membatasi diri untuk selalu berbuat baik. Apalagi takut berbuat baik karena nggak mau dibilang "Kamu terlalu baik buat aku". Konyol sih. Mau baik mah baik aja. Orang yang tepat juga bakal datang kok cepat atau lambat. Dan, orang yang pantas kita perjuangkan adalah yang mengizinkan kita untuk tumbuh menjadi pribadi baik, bukan malah merasa tidak nyaman dengan kebaikan kita. Daripada kita pusing mempertahankan orang yang bilang, "Maaf, kamu terlalu baik buat aku," mending temukan orang yang bisa mengatakan, "Kamu terlalu baik, maka ajari aku untuk selalu mencoba berbuat kebaikan." Ciye.

Senin, 20 Juni 2016

Gerbang Perpisahan?


Apa sih yang paling dipikirin mahasiswa akhir selain skripsi dan kerja? Kalau saya sih teman.

Jadi ceritanya saya habis melo-melowan gitu sama teman-teman kos karena sebagian bakal wisuda bulan ini dan setelah itu bakal balik ke kampung halamannya yang berarti kami bakal berpisah jauh. Jaman masih kuliah aja kadang, sering bahkan, susah buat ngumpul komplit. Apalagi udah lulus, kerja, tinggal di beda-beda kota, nikah, wah udah lah nggak kebayang kita bakal bisa ngumpul lagi kapan. Saya jadi mikir, apa pertemanan ini emang berbatas waktunya ya? Wkwk. Ya walaupun suatu saat mungkin kami masih keep in touch, tapi nggak bakal dapet lagi kan suasana bareng-bareng kaya apa yang udah kami lalui saat masa-masa kuliah. Buat saya, temen-temen kos adalah orang-orang yang bisa saya sebut sebagai another definition of family karena mereka adalah...adalah...hmm...adalah...serius saya sampai kehabisan kata-kata karena nggak tau harus mendeskripsikan mereka seperti apa. Mereka paket komplit.

Nah btw, jadi kepanjangan. Awalnya saya mau bilang, ceritanya lagi melow-melowan gitu sama teman-teman kos eh tiba-tiba saya dapet chat iseng dari temen SMA saya yang akhirnya berujung ngobrolin makin susahnya ngumpul bareng. Dia bilang ini kah yang namanya the end of friendship at early adulthood? Huhu makin melow~

Tapi iya kan? Ketika kita udah punya lingkungan baru dan teman-teman baru, bakal susah banget buat menjadwalkan ketemu untuk sekedar ngobrol sama teman-teman lama. Jangankan untuk ngobrol, hanya sekedar berkomunikasi aja kadang sampai lupa karena 'terlalu sibuk' dengan hal-hal baru kita. And it's sad to admit. Dan kalau udah gitu, kita jadi kehilangan masa-masa asiknya waktu yang kita habiskan bersama mereka dulu. Time will never get it back as it used to. Hiks. Tapi, nggak ada yang bisa disalahkan juga. Hidup terus berjalan. Waktu apalagi. Kita nggak bisa stuck sama satu keadaan dan nggak move forward. Dan hal tersebut mau nggak mau mengharuskan kita buat dinamis sama satu dan lain hal. Termasuk teman. Tuntutan, pekerjaan, pendidikan, menyatukan kita dengan orang-orang yang kemudian kita sebut teman, tapi kemudian setelah tuntutan dan pekerjaan itu selesai, kita punya tuntutan dan pekerjaan baru dengan lingkungan baru dan orang-orang baru pula yang mana hal tersebut bisa sangat mengurangi intensitas hubungan kita dengan teman yang ada di tuntutan kita terdahulu. Busetdah sekalimat panjang bener. Walhasil, segimana pun kita masih keep in touch sama teman lama kita, kita nggak pernah bisa benar-benar dapet apa yang dulu pernah kita lalui. Dan karena keparnoan inilah saya kadang suka merasa kangen sebelum berpisah. Haha lebay ya. itu juga yang terjadi ketika saya masih KKN. Saya suka diem gitu natap sekitar, siap-siap kalau saya bakal kangen sama tempat, suasana, dan orang-orang di sana.

Dan momen pas KKN itu pun terjadi lagi. Di mana saya tiba-tiba throwback ke momen-momen yang udah saya lalui bersama teman-teman kos. Senang, sedih, sakit, ketawa, nangis, kelaparan, foya-foya, nggak punya duit, tumpeh-tumpeh rejeki, kemalingan, dimarahin ibu-bapak kos, tidur di masjid, berantem, piknik bahagia, nge-camp, curhat, semuanya. Semuamuanya mendadak jadi precious moments banget. Empat tahun mendadak jadi berasa empat hari huhu.

Sampai saat ini saya juga tetap keep in touch sama teman-teman SMA saya, bahkan sama teman SMP juga, bahkan sama teman SD juga. Tapi ya itu tadi, time will never get it back as it used to. Momen nggak akan bisa terulang, tapi seenggaknya saya bisa mengobati rasa kangen dan bernostalgia dengan masih bertemu dan ngobrol sama mereka.

So what then?

Tetep sih, treasure this moment. Treasure your people today. Say thanks to them for making your life so colorful!
Teman Seperkosan

Senin, 13 Juni 2016

Pada Suatu Hari


Belakangan, saya semacam lagi berada di fase ‘I miss the old happy me' yang mana saya jadi sering merasa khawatir, gelisah, takut, nggak PD, dan perasaan insecure lainnya. Saya nggak tau kenapa bisa terjadi. Mungkin karena memang banyak hal yang suka bikin gemaaaaaz akhir-akhir ini.

Saya jadi bertanya-tanya, apa yang sebenernya salah dengan saya? Kenapa bukannya saya bisa lebih mengatur segala sesuatu tapi saya malah semakin don’t know what to do. Saya merasa, entah kenapa, dulu saya bisa banget berpikir positif di segala sesuatu yang sedang saya jalani even it is a bad one. Tapi kok sekarang, rasa-rasanya justru pikiran saya lebih didominasi oleh pikiran negatif. Kalau dulu begitu terlintas pikiran negatif di pikiran saya, saya langsung menggubrisnya dan mengganti dengan pikiran positif, sekarang saya jadi membiarkan pikiran-pikiran itu bertengger di pikiran saya dan bahkan saya mengucapkannya. Hal yang dulu saya selalu mencoba untuk menahan.



Sampai suatu hari saya sadar kalau I've been in a wrong way and I have to get back. Saya berharap kalau saya bisa menjadi the old happy me dan bahkan lebih baik dari itu. Dan ya, Allah seperti selalu punya cara untuk mengabulkan doa hamba-Nya. Pagi-pagi saya lagi nonton TV, saya liat seorang artis lagi diwawancara tentang kisah hijrahnya. Kurang lebih dia bercerita bahwa dulu yang dia kejar adalah kebahagiaan dunia dan merasa hidupnya selalu gelisah hingga pada suatu hari dia sadar bahwa dia harus berubah. Dalam doa sapu jagat disebutkan bahwa: Ya Allah, berilah aku kebaikan di dunia dan di akhirat. Dan jauhkanlah aku dari siksa neraka. Sehingga dia sadar bahwa seharusnya yang ia kejar tidak hanya kebahagiaan dunia semata. Yang dulu dia keseringan pengen beli barang, sekarang jadi mikir-mikir dulu apa barang itu bermanfaat atau enggak. Kemudian, dia juga jadi seketika tenang karena sadar kalau karunia Allah itu amat banyak dan satu lagi, ini sih yang dulu sempat saya pegang tapi kadang suka goyah: kebahagiaan itu letaknya di taat. Dia percaya, kalau karunia Allah memanglah sangat banyak dan satu-satunya cara untuk bersyukur adalah taat, melakukan perintah-Nya.



Nggak cuma sampai di situ, dilalah saya punya janji ketemuan sama orang DPD RI Jogja. Sebenernya magerin banget kan bulan puasa gini siang-siang harus ke kantor yang saya belum tau di mana, mendingan saya bobok di kos aja kan. Tapi, Allah eamng udah punya rencana. Akhirnya saya datang lah ke kantor DPD RI yang kemudian saya ketemu sama staff khusus yang udah saya bikin janji. Ngobrol ngobrol ngobrol dan menyampaikan tujuan ketemu beliau, selain saya jadi tahu tentang beberapa hal, di akhir beliau bilang untuk mencoba beraffirmasi positif. Kata affirmasi bukanlah asing buat saya, I used to hold it as my faith juga di mana apa yang saya inginkan, saya akan memperlakukannya seolah-olah saya sudah menerimanya. Pertemuan dengan beliau kaya jadi semacam pengingat saya aja sih kalau saya sudah agak melupakan things I used to think and hold.



Semua kegelisahan, kekhawatiran, dan kekecewaan pada diri sendiri jadi bisa seketika menghilang gitu aja dengan cara-Nya. Sebenernya bukan dua hal itu saja yang terus membuat saya jadi feel so releived, tapi ada banyak hal-hal kecil yang terjadi di sekeliling saya juga yang bikin saya jadi merasa forever grateful to be here with everything I have right now. Yang terpenting dari itu semua, untuk memulai sesuatu dan berusaha menjadi pribadi yang lebih baik letaknya bukan pada seberapa besar orang lain menginspirasi kita sih, tapi lebih kepada berurusan sama diri sendiri mengenai memilih melanjutkan hidup dengan apa yang 'baik' untuk kita. In this point is looking for true happiness is not only seeking for now, but also we have to think for hereafter. And it is somehow the only thing that could make us relieved even in our worst day. Insecurity, anxeity, disappointment, and any other restless feelings coming over are perhaps because we are too busy thinking our world life without trying to do our duty as His servant. Thus, we let negative things fill up our mind which then ends up  being reckless for all His blessings.

And now I feel so relieved.

Rabu, 27 April 2016

A Perplexity

I've been caught up in my activities these all days. Even when I'm writing this, those things I have to do are running in my mind.
It's funny to realize that something I want the most has stressed me up instead of making me happy.
Is this what people call 'out of comfort zone'?
Is this what they instruct to 'push ourselves to the limit?'
I hope so.
So that I will be relieved at least for a little while.

The door is open.
But when I get out of my room, I find a great wall right in front of my eyes.
It's like I almost see it. But I have to break the wall down to just hold what so called ambition.
I've been twisted, so consumed by all this hurt that brings me to feel numb afterward.
I knew, I should do everything without asking for praise. But I just found that it's hitting me in the chest when all my effort is not respected.

Life has been full of choices. But I never felt so lost.
I'm walking with no directions.
And every time I try to give them up, there's no reason to go back.
So is life really full of choices?
Or is it just the fate of life I live in?

Million questions have been friends for me to walk through this journey.
And sometimes I really don't need answers because, basically, those questions are ways to make my mind open.
That it's not what I do and choose is good or not, but rather how to make everything in this life strengthen me or weaken me up instead.

Rabu, 17 Februari 2016

CCU: Short Getaways


Rasa-rasanya, beberapa kali saya ke luar kota akhir-akhir ini, alhamdulillah ada yang bayarin hehe. Beberapa bulan lalu, saya tiba-tiba dapet tawaran untuk ikut STUBA ke Malang dengan biaya Rp400.000,- sudah bersih dari biaya transportasi, makan, sampai masuk Museum Angkut. Karena waktu itu saya lagi mupeng banget buat ke Museum Angkut dan emang merencanakan pergi ke Malang yang nggak tau kapan pastinya, saya jadi nggak mau kehilangan kesempatan. Tapi karena saya lagi nggak punya duit, dengan berat hati saya menolak. Namun, jodoh emang nggak ke mana. Karena memang kursi bus masih ada yang kosong, saya jadi ditawarin buat ikut STUBA dengan potongan 50%, walaaa jadi cuma Rp200.000,- saja! Dan emang, kalau udah jodoh, mau nolak kaya gimana pun jadi bakal bisa tetep dapet. Kebetulan waktu itu saya mentas Angklung di depan Bupati Purwakarta dan alhamdulillah-nya dapet uang 'saweran' yang masing-masing individu mendapat uang Rp400.000,- dan saya pun langsung segera mengiyakan ajakan STUBA ke Malang. Whoop!

Walaupun cuma sehari aja jalan-jalan di Malang, saya sudah cukup senang apalagi akhirnya saya bisa mengunjungi Museum Angkut. Nggak nyangka kemupengan iseng saya pengen ke sana ternyata menjadi doa yang dikabulkan secepat ini wkwk. Dengan biaya yang sangat murah dan 'pelayanan' yang cukup memadai, saya merasa puas atas kunjungan ke Malang kemarin. Saya bakal nggak nolak kok kalau-kalau ada yang ngajak ke sana lagi hehe.

Berbeda dengan Malang yang bikin saya mupeng buat berlama-lama tinggal di sana karena suasananya yang adem dan cukup asri, kunjungan saya ke Jakarta ini tidak menimbulkan perasaan yang sama. Entah kenapa rasanya di Jakarta walaupun gedung-gedung tinggi terlihat di mana-mana, saya tidak begitu amazed melihat sekeliling. Mungkin karena emang saya nggak ke mana-mana juga ketika saya menginjakkan kaki di Ibu Kota. Mungkin juga akan berbeda cerita dan perasaan kalau saya mengunjungi tempat-tempat lain dan berhari-hari tinggal di sana. Kunjungan ke Jakarta ini emang nggak didesain untuk jalan-jalan sih apalagi untuk explore Jakarta. Tujuan ke sana adalah untuk nampil nari tok bareng Rampoe UGM. Check in di apartemennya pun cuma di-booking-in sehari semalem, tapi alhamdulillah apartemennya cukup nyaman dan lebih alhamdulillah lagi kami makmur dalam segi makanan. Laper dikit, langsung kenyang. Laper lagi, kenyang lagi hehe terima kasih, Tuan Rumah, semoga pernikahannya samawa.

Dan saat beberapa waktu yang lalu ke Solo pun saya nggak ngeluarin duit. Walaupun emang sih, kalau kali ini emang temen saya yang punya utang wkwk. Seharian itu saya ke Solo, agaknya saya nggak mengeluarkan uang lebih dari Rp50.000,- walaaa! Iyalah, ini masih di Jawa, coy!

Btw, dari kunjungan ke tiga kota itu saya baru menyadari ada kesamaannya, yaitu: cuma sehari. Walaupun kalau ke Malang dan Jakarta nggak literal sehari sih karena perjalanan yang cukup jauh dan memakan waktu, ya sekitar 2-3 hari lah kalau ditotal mah. To sum up, dari kunjungan ke tiga kota yang berbeda tersebut dalam waktu yang berbeda pula, ada sekelumit perspektif yang mulai muncul dari mulai lingkungan, masakan, dan orang-orang di dalamnya walaupun memang belum bisa saya generalisasikan  karena waktu kunjungan yang tidak seberapa itu. Setidaknya, saya jadi sedikit tahu dan mempunyai bayangan bagaimana orang Jawa Timur, orang Solo, dan orang Betawi berikut masakannya. Solo tentu, karena masih serumpun dengan Jogja, mempunyai cita rasa masakan manis yang saya sebagai orang Jawa Barat kurang menyukainya. Masakan Jawa Timur dan Jakarta lebih saya sukai karena cita rasanya yang lebih asin dan gurih. Berasa lagi pulang ke rumah pas saya nyicip prasmanan di Jakarta. Masakannya enak, nggak manis hehe. Dan karena keterbatasan interaksi saya dengan penduduk sekitar, saya tidak bisa memberi acuan mengenai watak penduduk dari masing-masing daerah tersebut. Yang sangat menonjol adalah logat. Di Malang, walaupun mereka sama-sama menggunakan bahasa Jawa seperti Solo, namun logat dan bahkan aksennya tentu berbeda. Solo lebih lembut. Nampaknya itu saja yang bisa saya sebutkan selain keduanya mempunyai ke-medhok-an yang berbeda. Jakarta tentu kental dengan Betawi, 'Penari kok masih di sini? Penganten ude di pelaminan. Cepet ye ke sane.' ucap seorang ibu kepada kami, penari Rampoe UGM. 

Cross cultural understanding selalu menarik minat saya untuk tahu dan experience lebih banyak lagi baik lokal maupun interlokal. Dengan begitu, pikiran saya lebih terbuka dan jauh lebih menghargai perbedaan. Klise sih, tapi, ya, perbedaanlah yang membuat dunia lebih indah jika kita menghargai satu sama lain. Dan justru dengan kita mengenal budaya, tempat, dan orang dari suku-suku lain maka kita akan semakin mencintai budaya kita sendiri.
This entry was posted in

Jumat, 05 Februari 2016

The Excitement

It's still raining when I finally lay down on my bed. The old songs are in the air as I turn the radio on. Good old memories come over in flashes.

It's been great days to me since I finally happened to see old lovely people I haven't seen in a while. It's always been good to reunite with them. Sharing stories and thoughts I've passed when I'm away far from them. So much love, support, and excitement I  got right afterwards. Strengthening me up to step out from what I'm about to do in front of me for what so called the final step to get out of college life that you can guess what.

It's so typical of me to feel all excited when my old friends invite me to join them in an occasion they've already been planning. I always love the idea of 'reuniting' cause I know I'm gonna get great time with people who are worth staying like them.

My heart beats fast every time I remember the things I'm about to face started by now. And it beats even faster when my friend told me the chance I get to reach what I've been dreaming about.

Life is a long journey.
Once I heard a saying that what makes it so joyful is not when we achieve our goals, but rather the struggle we fight for during the process.

So what really keeps us excited about life other than people we treasure?
It's........dreams.