Rabu, 17 Februari 2016

CCU: Short Getaways


Rasa-rasanya, beberapa kali saya ke luar kota akhir-akhir ini, alhamdulillah ada yang bayarin hehe. Beberapa bulan lalu, saya tiba-tiba dapet tawaran untuk ikut STUBA ke Malang dengan biaya Rp400.000,- sudah bersih dari biaya transportasi, makan, sampai masuk Museum Angkut. Karena waktu itu saya lagi mupeng banget buat ke Museum Angkut dan emang merencanakan pergi ke Malang yang nggak tau kapan pastinya, saya jadi nggak mau kehilangan kesempatan. Tapi karena saya lagi nggak punya duit, dengan berat hati saya menolak. Namun, jodoh emang nggak ke mana. Karena memang kursi bus masih ada yang kosong, saya jadi ditawarin buat ikut STUBA dengan potongan 50%, walaaa jadi cuma Rp200.000,- saja! Dan emang, kalau udah jodoh, mau nolak kaya gimana pun jadi bakal bisa tetep dapet. Kebetulan waktu itu saya mentas Angklung di depan Bupati Purwakarta dan alhamdulillah-nya dapet uang 'saweran' yang masing-masing individu mendapat uang Rp400.000,- dan saya pun langsung segera mengiyakan ajakan STUBA ke Malang. Whoop!

Walaupun cuma sehari aja jalan-jalan di Malang, saya sudah cukup senang apalagi akhirnya saya bisa mengunjungi Museum Angkut. Nggak nyangka kemupengan iseng saya pengen ke sana ternyata menjadi doa yang dikabulkan secepat ini wkwk. Dengan biaya yang sangat murah dan 'pelayanan' yang cukup memadai, saya merasa puas atas kunjungan ke Malang kemarin. Saya bakal nggak nolak kok kalau-kalau ada yang ngajak ke sana lagi hehe.

Berbeda dengan Malang yang bikin saya mupeng buat berlama-lama tinggal di sana karena suasananya yang adem dan cukup asri, kunjungan saya ke Jakarta ini tidak menimbulkan perasaan yang sama. Entah kenapa rasanya di Jakarta walaupun gedung-gedung tinggi terlihat di mana-mana, saya tidak begitu amazed melihat sekeliling. Mungkin karena emang saya nggak ke mana-mana juga ketika saya menginjakkan kaki di Ibu Kota. Mungkin juga akan berbeda cerita dan perasaan kalau saya mengunjungi tempat-tempat lain dan berhari-hari tinggal di sana. Kunjungan ke Jakarta ini emang nggak didesain untuk jalan-jalan sih apalagi untuk explore Jakarta. Tujuan ke sana adalah untuk nampil nari tok bareng Rampoe UGM. Check in di apartemennya pun cuma di-booking-in sehari semalem, tapi alhamdulillah apartemennya cukup nyaman dan lebih alhamdulillah lagi kami makmur dalam segi makanan. Laper dikit, langsung kenyang. Laper lagi, kenyang lagi hehe terima kasih, Tuan Rumah, semoga pernikahannya samawa.

Dan saat beberapa waktu yang lalu ke Solo pun saya nggak ngeluarin duit. Walaupun emang sih, kalau kali ini emang temen saya yang punya utang wkwk. Seharian itu saya ke Solo, agaknya saya nggak mengeluarkan uang lebih dari Rp50.000,- walaaa! Iyalah, ini masih di Jawa, coy!

Btw, dari kunjungan ke tiga kota itu saya baru menyadari ada kesamaannya, yaitu: cuma sehari. Walaupun kalau ke Malang dan Jakarta nggak literal sehari sih karena perjalanan yang cukup jauh dan memakan waktu, ya sekitar 2-3 hari lah kalau ditotal mah. To sum up, dari kunjungan ke tiga kota yang berbeda tersebut dalam waktu yang berbeda pula, ada sekelumit perspektif yang mulai muncul dari mulai lingkungan, masakan, dan orang-orang di dalamnya walaupun memang belum bisa saya generalisasikan  karena waktu kunjungan yang tidak seberapa itu. Setidaknya, saya jadi sedikit tahu dan mempunyai bayangan bagaimana orang Jawa Timur, orang Solo, dan orang Betawi berikut masakannya. Solo tentu, karena masih serumpun dengan Jogja, mempunyai cita rasa masakan manis yang saya sebagai orang Jawa Barat kurang menyukainya. Masakan Jawa Timur dan Jakarta lebih saya sukai karena cita rasanya yang lebih asin dan gurih. Berasa lagi pulang ke rumah pas saya nyicip prasmanan di Jakarta. Masakannya enak, nggak manis hehe. Dan karena keterbatasan interaksi saya dengan penduduk sekitar, saya tidak bisa memberi acuan mengenai watak penduduk dari masing-masing daerah tersebut. Yang sangat menonjol adalah logat. Di Malang, walaupun mereka sama-sama menggunakan bahasa Jawa seperti Solo, namun logat dan bahkan aksennya tentu berbeda. Solo lebih lembut. Nampaknya itu saja yang bisa saya sebutkan selain keduanya mempunyai ke-medhok-an yang berbeda. Jakarta tentu kental dengan Betawi, 'Penari kok masih di sini? Penganten ude di pelaminan. Cepet ye ke sane.' ucap seorang ibu kepada kami, penari Rampoe UGM. 

Cross cultural understanding selalu menarik minat saya untuk tahu dan experience lebih banyak lagi baik lokal maupun interlokal. Dengan begitu, pikiran saya lebih terbuka dan jauh lebih menghargai perbedaan. Klise sih, tapi, ya, perbedaanlah yang membuat dunia lebih indah jika kita menghargai satu sama lain. Dan justru dengan kita mengenal budaya, tempat, dan orang dari suku-suku lain maka kita akan semakin mencintai budaya kita sendiri.
This entry was posted in

0 komentar:

Posting Komentar