Minggu, 27 Desember 2015

Nyolo: Da Zonkest Day



Sudah lama saya dan ciwi-ciwi merencanakan untuk liburan, tapi semuanya berujung wacana. Padahal tinggal berangkatnya aja, beberapa jam bahkan menit sebelum keberangkatan, dibatalkan dengan alasan satu dan lain hal.

Destinasi kami yang alhamdulillah nggak jadi wacana ini adalah Solo. Sejujurnya, saya nggak mupeng-mupeng banget ke Solo karena pertama, saya udah pernah ke sana dan kedua karena menurut saya Solo mirip banget sama Jogja, letak alun-alun yang nggak jauh dari masjid raya serta sekompleks sama benteng, pusat kota, dan pasar, jadi saya nggak merasakan betul experiencing new things-nya. Emang sih, tipikal tata kota di Indonesia gitu: alun-alun, masjid raya, pusat kota, dan pusat perbelanjaan. Tapi, Jogja dan Solo ini mirip banget. Alun-alunnya, masjid rayanya yang masih tradisional banget, sampai ada bentengnya. Agak berbeda dengan Cilacap yang menurut saya malah lebih mirip Cirebon. Masjid rayanya bias dibilang lebih modern dan terlihat (mencoba) megah dan alun-alunnya yang kalau malem emang rame tapi nggak ada sewa mobil-mobilan berlampu warna-warni kaya yang ada di Jogja dan Solo itu (apa sih namanya? Haha).

Balik lagi ke cerita perjalanan Solo kali ini. Dari awal saya emang udah manut aja mau pergi ke mana. Di dalem Jogja hayuk, keluar hayuk. Yang penting jalan, nggak wacana. Akhirnya usulan pergi ke Solo diterima walaupun tetep nggak bisa full team. Anehnya, sampai hari H pun kami ngggak punya tujuan pasti mau ke mana aja, cuma menyebutkan ‘ini loh di Solo ada Keraton, Benteng Vasternburg, blablabla’ tanpa benar-benar menjadawalkan habis dari situ ke mana, naik apa, ngapain aja, dan berapa lama. Dan sekarang saya sangat mengiyakan para travel blogger  yang bilang betapa pentingnya punya itinerary dalam melakukan perjalanan. Kenapa? Karena kalau nggak, kamu bakal dapet ke-zonk-an di mana-mana.

Ke-zonk-an pertama adalah salah jadwal kereta. Emang salah mengandalkan jadwal kereta bukan dengan yang paling update. Walhasil, kami yang merencanakan keberangkatan pukul 10 pagi ternyata nggak ada, terpaksa harus nunggu keberangkatan pukul 11. Kami cukup luntang-lantung di Stasiun Lempuyangan udah kaya pengungsi bencana ngegelepor di lantai yang akhirnya saking nggak tau mau ngapain jadi lipenan berjamaah bertemakan red lips.
 
Tiket Prameks YK-Solo: Rp 8.000,-
Ngegelepor di Stasiun part I
Sampai di Stasiun Purwosari
Salah satu icon kota Solo



Karena tanggal merah, super long weekend, dan musim liburan, kereta pun penuh sesak dipenuhi harum semerbak, dan tidak menyisakan tempat duduk, ngegelepor kedua pun dilakukan di dalam kereta. Ke-zonk-an berikutnya adalah ketika kami menaiki Batik Solo Trans yang remnya mendadak blong. Udah lama-lama nunggu bus dateng di halte eh begitu dapet, baru jalan bentar, ternyata remnya blong. Kan gemesh. Walhasil ongkos bus Rp 4.500,- pun melayang. Jangan salah, di Jawa, 4.500 itu berharga. Sebenernya pas di halte, kami ditawari naik taksi menuju Keraton seharga Rp 30.000,- (masing-masing cuma bayar Rp 6.000,- karena kami berenam), tapi kami menolak. Dan penyesalan pun memang datangnya di akhir. Ketidakjelasan menunggu bus berikutnya yang nggak tau kapan datang dan bakal sesumpek apa akhirnya kami memutuskan untuk jalan ke Keraton. Berbekal pengalaman Sarah dan Eri yang katanya jalan cuma 15 menit tapi ternyata sampai di tempat tujuan setelah menempuh perjalanan 45 menit jalan kaki (dibarengi foto-foto sih).

 
SGM (Solo Grand Mall)
Jalan kaki dari SGM menuju Alun-alun
Found this while walking

Foto ala-ala The Beatles
Jalanan Kota Solo

Salah satu transportasi di Solo

Waktu yang kami punya pun makin sempit aja. Sampai di masjid pukul 2 siang dan sholat 15 menit setelah itu kami langsung ke Pasar Klewer (sementara) untuk makan. Hujan pun tiba dengan bulir-bulir yang cukup deras. Nunggu lagi. Makin ngaret. Sekitar pukul 3 sore, kami baru melangkahkan kaki menuju Keraton yang kemudian menemukan ke-zonk-an berikutnya: Keraton sudah tutup. Dengan berbekal secercah harapan, kami langsung mencoba pergi ke Benteng Vasternburg menggunakan GPS (Gunakan Penduduk Sekitar), tapi ternyata ke-zonk-an masih mengikuti kami: Benteng Vasternbug pun tutup. Saya nggak ngerti kenapa pada tutup, entah karena waktunya tutup atau karena libur atau bahkan karena mau didatengin para ciwi-ciwi rempong ini (?) Yang kami tahu adalah kami sudah gempor.

Pasar Klewer sementara pindah tempat karena yg asli sedang renovasi akibat kebakaran
 
Makan siang di Pasar Klewer
Suasana Pasar Klewer (sementara)

Keraton
 
Sudah tutup
Benteng Vasterburg yang juga tutup
Karena udah nggak tau mau ke mana, akhirnya kami memutuskan untuk balik ke Stasiun mengejar kereta keberangkatan pukul 5. Bener aja, there’s always blessing in disguise. Sopir taksi yang kami tumpangi kocak dan enak diajak ngobrol. Kayanya betah-betah aja sebenernya kalo musti naik mobil dengan sopir gokil kaya gini. Namun, ke-zonk-an masih berpihak bersama kami rupanya: salah stasiun. Kami cuma bilang ke Pak Sopir, ‘Pak ke Stasiun.’ Tanpa embel-embel Stasiun mana. Baru sadar ketika Bapaknya bilang, ‘Stasiun Balapan, kan?’ Lah! Sampai akhirnya salah satu dari kami bilang, ‘Yaudah gapapa, sama aja tho?’ yang kemudian disahut oleh teman yang lain, ‘Tapi kalo di Stasiun Balapan nggak ada tempat tongkrongan kalo ternyata kita nggak dapet yang jam 5.’ Dari perdebatan singkat itu, kami tetap jalan menuju Stasiun Balapan dengan harapan masih bisa dapet tiket keberangkatan pukul 5.

Sebenernya, nggak masalah banget kami mau berangkat dari Stasiun Balapan atau Stasiun Purwosari. Yang jadi masalah adalah tiket keberangkatan pukul 5 sudah habis. Itulah ke-zonk-an kami berikutnya. Jadwal keberangkatan kereta Prameks berikutnya adalah pukul 19.45 sementara kami sampai di Stasiun Balapan sekitar pukul 4.30 sore, itung sendiri kami harus nunggu berapa jam. Karena lokasi Stasiun Balapan bukan di pusat kota, jadi aja nggak ada tempat buat nongkrong-nongkrong yang nggak ngebosenin. Walhasil, kami memutuskan untuk membeli tiket di Stasiun Balapan dan berangkat dari Stasiun Purwosari. Karena keadaan nggak memungkinkan kami untuk jalan lama (lagi), kami mencarilah taksi untuk cus ke Stasiun Purwosari. Tapi tipikal taksi yang mangkal di Stasiun, nggak mau banget ditawar murah. Akhirnya kami jalan (lagi) menjauh dari daerah Stasiun untuk dapet taksi murah yaitu hanya Rp 30.000,-. Nggak tau kenapa blessing in disguise-nya ini ada di sopir taksi lagi. Sama kaya sopir taksi yang pertama, sopir taksi kali ini juga gokil. Ketawa-ketiwi mengisi perjalanan kami dari Stasiun Balapan menuju Solo Square yang letaknya nggak jauh sama Stasiun Purwosari.

Ngegelepor di Stasiun part II
Solo Square

Cute corner

Sementara menunggu waktu keberangkatan kereta, kami makan di Foodcourt dan muter-muterin Solo Square. Segera setelahnya, kami jalan kaki menuju Stasiun Purwosari dengan tepat waktu yang alhamdulillah-nya dapet tempat duduk. Kereta pun berangkat. Kami pikir ke-zonk-an sudah berakhir sampai pada akhirnya saya bilang ke Aya, ‘Ay, keretanya jalan lembut banget ya.’ Aya langsung sadar, ‘Loh ini kereta jalan nggak sih? Enggak, tauk! Itu lampunya diem aja.’ Iya, kereta berhenti. Sepertinya kereta udah berhenti lebih dari 15 menit dan nggak tau kenapa, macet kah, mogok, atau kenapa, yang pasti itu bukan berhenti di stasiun. Hmm. Yang harusnya kereta sampai Jogja pukul 9 (malam) kurang, ternyata kami sampai Stasiun Lempuyangan sekitar 9.30 malam.

Dapet kursi semua :')

Stasiun Purwosari malam hari
Dari seluruh ke-zonk-an yang kami dapatkan di hari itu, kami tetap merasa senang dan bahagia. Bener sih kalau ada yang bilang, ‘It is not about where you are nor what you are doing, but rather it is about who you are with.’ Mau ke mana pun pergi, segimana zonk-nya perjalanan yang kita punya, kalau kita bersama orang-orang yang menyenangkan, semua akan terasa indah.

P.S. make sure you have a clear itinerary with super clear details whenever you want to go traveling. You don’t want to have such zonk voyage, right?
This entry was posted in

0 komentar:

Posting Komentar